Koi Nante Vol 2 Chapter 7 Part 3

1 komentar

 

Setelah melewati jalan raya dan area disekitar sedikit sepi, Kitaoka membuka mulutnya lagi seolah mengingat.

“Hei, apa kamu masuk ke universitas?”

“Ya.”

“Kemana kamu pergi?”

Itu pertanyaan biasa, tapi untuk beberapa alasan aku kehilangan jawaban. Kami mengobrol saat pulang dari prep-school tentang universitas mana yang aku ambil ujian. Saat itu aku ingat menjawab universitas disekitar Tokyo.

Tapi tidak ada yang disembunyikan. Aku menyebutkan nama sekolah yang akan kuhadiri mulai dari April dengan nada yang biasa.

Saat Kitaoka mendengar ini, dia tampak sangat terkejut, dan bergumam, “Oh, ......,” tidak melanjutkan lebih dari itu.

“Jauh banget… ya?”

“Yah, itu sekitar empat atau lima jam dengan kereta shinkanses dan kereta ekspres.”

Tidak sejauh yang kau bayangkan. Dari segi jarak, banyak teman sekelas ku yang pergi ke tempat yang lebih terpencil. ...... Sebenarnya, aku pergi ke tempat dimana tidak ada orang yang mengenalku, jadi wajar kalau itu jauh.

“Kapan kamu pindah?”

“Besok.”

“...... Itu terburu-buru.”

“Ya. Aku harus mempersiapkan banyak hal disana. Juga sedikit familiar dengan tempat jika terlebih dahulu disana.”

Sepertinya tempat yang dingin, bukan? Selain dingin, tempat yang ku kunjungi sejak tahun kedua tidak memiliki banyak salju. ...... Kami berbicara tentang kesan kami tentang tempat baru.

“Ano...”

Saat Kitaoka hendak mengatakan sesuatu, smartphone ku bergetar di saku.

“Maaf,” sebutku, lalu memarkir sepeda dan menjawab. “Makan malam lebih awal hari ini, jadi jangan terlambat.” Aku bilang, “Oke,” dan mengakhiri panggilan. “Nah, kalau begitu,” saat aku sedang menyeka noda di layar, gadis yang disampingku memperhatikan dan berbicara,

“Kau membeli smarthphone?”

Oh, pikirku.

Aku menggunakannya tanpa sadar, orang-orang yang ku kenal di sekolah tidak tahu aku punya satu. Tapi itu tidak masalah sekarang. Ini yang terakhir, aku tak menentangnya juga.

“Ya. Baru-baru ini.”

“Kalau gitu ayo tukaran nomor dan lainnya”

Pada tawaran ini, aku secara refleks mengajukan pertanyaan.

“Apa? Untuk apa?”

Aku akan pergi dari sini, dan aku tidak perlu memberikan informasi kontak ku, jadi seharusnya tidak perlu. Kita tidak sedekat itu di sekolah sejak awal.

Selain itu, fakta bahwa kita berbicara hari ini hanya kebetulan, dan aku awalanya bertekad untuk melupakanmu. Memulai hidupku dari awal, aku akan meninggalkan ikatan masa lalu. Aku telah membuat keputusan itu, tapi itu tidak ada gunanya jika aku masih terhubung dengannya.

Aku tidak tahu apa Kitaoka punya maksud lain dari ajakannya, dan keknya dia tidak akan memberi tahu alasannya, dia menggelengkan kepalanya dengan ringan beberapa kali seolah-olah panik.

“...... Tidak.”

Kami mulai berjalan lagi, tapi keheningan masih tetap ada.

Dia berhenti di depan taman anak-anak, di mana suara anak-anak datang entah dari mana.

“Sampai disini saja.”

Mendnegar ini, aku berbalik.

Saat mata kami bertemu, Kitaoka tertawa dengan santai.

“Kalau kamu pergi ke rumahku, kamu akan terlambat. ...... Lagipula, kalau sampai sini saja seharusnya tidak apa untukmu.”

Dia menyatakan dengan nada suara yang sangat jelas. Mungkin dia tidak ingin aku mengikutinya pulang. Kalau gitu, yowes.

“Oh, ya.”

Aku menjongkrak sepeda dan menyerahkan tas lain yang ada di bagasi sepeda.

“Makasih karena memberi tumpangan.”

Dia sangat jujur ​​dalam ucapan terima kasihnya, jadi aku menjawab dengan bercanda.

“Tidak, tidak, tidak. Aku beruntung bisa pulang dengan cewek imut sepertimu.”

Tapi entah mengapa wajah Kitaoka memerah dan dia mengaum seolah dia tidak bisa menahannya lebih lama lagi.

“Rasengan!”

Setelah meneriakkan ini, dia tiba-tiba memukul tulang selangka ku. Itu tidak terlalu kerasa karena dia membawa barang di tangannya, tapi aku tak tahu kenapa aku diperlakukan seperti ini.

“Apa-apaan! Hentikan!”

Setelah beberapa saat marah, Kitaoka berhenti sejenak, tapi masih menyalak marah.

“Kenapa, kenapa kamu mengatakan hal seperti itu tanpa ragu-ragu?

“Apa?”

“Iijima selalu kek gitu! Kamu bilang orang imut begitu saja! Kamu gak bisa bilang begitu dengan wajah datar begitu saja!”

“Bilang apa?”

“Kamu baru saja bilang itu, kan!”

Ma, ma, bujukku, berbalik untuk menenangkannya. Ada air mata di matanya yang besar saat dia menatapku dengan erat.

“Sungguh, orang yang kau sebut begitu akan terbawa suasana. Dan kemudian mereka salah paham denganmu dengan cara yang aneh!”

Aku memiringkan kepalaku pada kata-kata Kitaoka. Jika kau secantik Kitaoka, kau pasti mendapat pujian tentang seberapa imutnya dirimu setiap hari, dan aku sebenarnya pernah melihatnya terjadi beberapa kali pada teman sekelasku. Aku tidak mengira dia adalah karakter orang yang akan marah dengan hal seperti ini.

Dibilang aku mengatakan sesuatu yang membuat orang salah sangka sejak lama, pokoknya, aku bertanya padanya, “Begitukah? Kitaoka tidak menjawab, tapi berbicara dengan cemberut.

“......Juga, kamu gak boleh bilang begitu ke cewek-cewek dengan santainya, ngerti!”

“Oke oke.”

Saat aku menjawab, Kitaoka masih terlihat tidak yakin, tapi dia tidak membantah lebih jauh.

Aku menyerahkan sisa barang bawaan ku, sebuah kantong kertas berisi manga.

“Kalau begitu. Ini yang terakhir, kan?

“Ya.”

Aku mengangkangi sepeda dan mengangkat satu tangan dengan ringan ke Kitaoka, yang memegang tas di kedua tangan.

“Hati-hati.

“Semoga beruntung dengan menyekop salju.”

“Oh.”

Dia menatapku. Aku bertanya-tanya apa dia sedang menunggu ku untuk mengatakan sesuatu, atau apa dia punya sesuatu untuk dikatakan. Lagi pula, dia tidak memalingkan muka sama sekali, jadi aku tidak bisa lari begitu saja dari sini.

Kalau aku harus memberinya satu kata terakhir, apa itu? Bukan “selamat tinggal”, bukan “sampai jumpa”.

Setelah memikirkannya, aku menemukan kata-kata ini dari ingatan masa lalu.

“...... Sejauh ini menyenangkan.”

Mata Kitaoka berkedut.

Aku ingin tahu apa aku terdengar seperti sedang berbohong. Tapi itu adalah kebenaran. Setidaknya, itulah yang ku rasakan setiap kali aku berada di sekitar Kitaoka, dari perkemahan musim panas hingga hari itu di musim dingin. Bahkan jika semua itu palsu.

“….aku juga sama”

Kitaoka berbisik dengan suara teredam.

Aku lega mendengarnya. Ketika ekspresi ku tersendat, Kitaoka tertawa canggung seolah-olah mengikuti.

Melambaikan tangan, aku mulai mengayuh sepeda.

Semakin jauh dari taman. Tanpa barang bawaan di bagasi, sepeda menjadi sangat ringan dan aku melaju sangat cepat, kehilangan jalan di tikungan.

Sebuah sepeda melesat melintasi kota di senja jingga.

Saat aku kakiku mengayuh dengan cepat, kepalaku dipenuhi dengan berbagai suara yang menegurku, “apa baik-baik saja seperti ini?”

[Bukankah itu seperti 'tit for tat'?]
[bab 3 chapter 2]

[kau harus memaafkannya]

(...... Diam!)

Aku tahu. Aku tahu bahwa dia tak bermaksud dengan apa yang dia katakan tentangku saat hari terakhir sekolah. Aku terkejut dan tertekan saat mendengarnya, tapi saat aku memikirkannya dengan tenang, aku menyadari bahwa tidak mungkin dia bisa terus bertingkah seperti itu.

Bukan itu masalahnya. Aku tidak punya pilihan selain meninggalkannya.

Karena gadis itu...

[Sebenarnya aku sudah memiliki orang lain yang kususkai, atau bisa dibilang, orang yang aku tertarik sekarang]

Di festival sekolah, dia mengatakan ini dengan senyum manis. Aku belum pernah melihat Kitaoka begitu malu dan bahagia seperti saat dia bilang “Aku tertarik”. Aku yakin dia sudah serius dengan laki-laki itu sejak awal.

Jika kita berbaikan dan menjadi teman lagi, aku harus melihatnya diambil oleh orang lain suatu hari nanti. Aku tidak ingin itu. Sesakit apapun perpisahan saat ini, sepedih apapun itu pasti lebih baik dari pada saat itu tiba. Itu sebabnya aku berpisah dengannya.

[Jantungku selalu berdebar]

[Memang aneh, beneran aneh. Aku tidak berpikir dia bodoh, hanya saja dia tak bisa membaca suasana hati]

Aku berpikir pada diri sendiri pada saat itu, “Apa itu? Aku bertanya-tanya apa dia benar-benar menyukai orang ini. Tapi saat aku memikirkannya, aku menyadari itu semacam melodrama yang tak bisa dia tahan meskipun dia tahu kekurangan laki-laki itu. Kalau dia punya perasaan kuat seperti itu pada orang misterius ini, maka aku tak mungkin punya kesempatan.

[Aku gak tahu apa dia menyanjungku, tapi dia bilang padakau kalau aku imut]

Aku selalu berpikir Kitaoka itu imut. Bahkan hari ini, dalam perjalanan pulang, aku tak bisa mengalihkan pandangan dari penampilannya, dan sulit untuk mengabaikan fakta bahwa dia sedang menatapku. Mau tak mau aku ingin melihatnya selama mungkin, mengetahui bahwa ini adalah terakhir kalinya aku melihat matanya yang besar dan berkemauan keras, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang lembut berwarna indah.

Saat akan pergi, aku memanggilnya “cewek imut”. Kedengarannya seperti komentar biasa, tapi aku benar-benar bersungguh-sungguh. Tapi bukannya senang, Kitaoka malah marah.

Aku yakin Sasaki pasti sudah mengaku, “Aku menyukaimu,” padanya. Aku lega Kitaoka tidak merasakan hal yang sama, tapi di sisi lain, dia tidak punya ruang untuk menerima tawaran apapun dari Sasaki atau laki-laki lain. Jadi bahkan kalau aku mengaku padanya, aku yakin dia akan menolakku seperti pada Sasaki.

Aku mengertakkan gigi dan berpikir, “Sialan. Apa perbedaan antara orang ini dan aku?” Aku tidak tahu siapa dia, tapi jika dia mirip denganku, dia seharusnya adalah aku...

(......, eh?)

Pada saat itu juga, ada tarikan kecil dihatiku.

(Mirip dengan? Mirip artinya...)

[Kurasa tidak ada orang di sekolah yang mengenalnya...]

Komentar dari Kitaoka ini membuatku membuang kemungkinan bahwa dia dari sekolah kita. Namun, jika itu hanya cara untuk menghindari perhatian, dan jika itu benar-benar seseorang yang mungkinku kenal, ceritanya akan berbeda secara fundamental. Kitaoka tampaknya mengira orang di kostum Chiiba adalah seorang gadis dari sekolah, Kitaoka bukan tipe orang yang tidak bisa berbohong, jadi itu bukan tidak mungkin. Selain itu, Shinna Otsuka juga mengatakannya hari ini. Dia mengatakan bahwa aku adalah orang yang berbeda di luar sekolah.

Jantungku berhenti berdetak. “Tidak, tunggu sebentar,” aku mencoba menahan diri lagi dan lagi, tapi semakin aku memikirkannya, semakin aku mempersempit jawaban untuk satu pertanyaan.

Saat kami pertama kali mulai mengenal satu sama lain, dia memanggil otaku terus, dalam pikirannya, otaku = aneh. ......

(Hei, itu...)


Lalu, “bukannya orang aneh dan bebal” tapi kalau ini maksudnya  “tidak bisa membaca suasana” ...

(Itu ...)


Hari ini dia menganggapku seperti, “Mengatakan sesuatu yang membuat orang salah sangka dengan wajah datar begitu saja.” Kitaoka juga bilang, “Tiba-tiba bilang orang imut begitu saja,” dan “ kamu gak boleh bilang begitu ke cewek-cewek dengan santainya.”

(tentang apa ini?)


Seolah-olah aku sedang mendekati solusi dan jawaban yang aku cari selama ini, dan seperti itu adalah sesuatu yang sangat sederhana, perasaan yang mirip dengan kegembiraan perlahan menyebar ke dalam diriku

Mungkin karena aku sedang berpikir, tapi sebelum aku menyadarinya, aku tersesat dan kembali jalan utama.

Kalau aku berbelok ke kanan di ujung jalan, aku akan sampai di taman tempat aku meninggalkan Kitaoka, dan kalau aku belok kiri, aku akan sampai dirumah.

Mungkin aku hanya membayangkan sesuatu. Aku gak yakin. Tapi aku ingin tahu. Aku mungkin akan kaget kalau hipotesisku salah. Tapi kalau begitu, aku hanya harus bangkit lagi.

[dia tidak menunggumu disana]

[Kenapa kau kerasa kepala?]

[lakukan yang terbaik dan temukan kebahagiaan]

Darah di tubuhku melonjak hebat. Semua pertemuan, pengalaman, dan penyesalan selama enam bulan terakhir, atau bahkan delapan belas tahun terakhir, mendorong ku untuk bergegas. Mungkin belum terlambat. Aku gak akan tahu apa bisa berhasil atau tidak sebelum mencobanya. Itulah mengapa kau tak boleh membiarkan ego dan emosi kecilmu menghalangi. Kau harus membuang semua itu dan jujur ​​pada diri sendiri.

(Dame, Kitaoka.)

Aku menginjak pedal lebih keras. Aku harus pergi ke sana secepat mungkin.

(Jangan pergi dulu.)

Aku mengayuh sepeda ku dengan kecepatan tinggi dan tiba di tikungan. Arah yang harus aku tuju...


Tentu saja, arah ini!

Ema melihat ke arah sepeda yang pergi, sampai punggungnya meleleh memudar di matahari yang terbenam.

(Dia pergi)

Saat aku memikirkan ini, air mata menetes dari sudut mataku.

Ada kakakku saat aku sampai di rumah, jadi aku tak boleh menangis. Aku tidak ingin membuatnya khawatir. Tapi hatiku sakit dan aku tak bisa menghentikan air mata yang mengalir.

Ema meletakkan barang bawaannya di dekat jalan masuk taman, duduk di tangga menuju taman, dan memegangi wajahnya dengan kedua tangan.

Aku selalu menyukaimu. Aku tak bisa mengungkapkan rasa terima kasihku, perasaanku, permohonan maafku, atau apa pun. Mau tak mau aku memikirkan wajah yang baru saja berpisah denganku, dan aku tidak tahan untuk berbicara dengan ingatan itu.


—Iijima. Hei, apa kamu ingat?


Saat kau meminjamkan sepatumu di kamp pelatihan, aku sangat senang. Bahkan saat berjalan bersama di jalan, aku selalu merasa berterimakasih ada kau disana membantuku.

Sama saat pergi ke rumahmu. Aku ingin kau bilang, “Aku akan mengantarmu pulang,” jadi aku pergi kesana agak terlambat, tapi kamu malah bilang, “Ada jalan pintas yang lebih cepat,” alih-alih “Aku akan mengantarmu pulang”. Tapi setidaknya kita dapat mengobrol sebentar dan itu benar-benar menyenangkan.

Kemudian pada bulan September, dalam perjalanan pulang dari prep-school, aku berbicara denganmu untuk pertamakalinya, tapi hari itu bukanlah suatu kebetulan. Aku tahu kamu ada di sana pada hari Rabu sebelumnya, tapi aku tidak bisa mendekatimu karena Saito-kun ada di sana, jadi aku mengambil kesempatan untuk berbicara denganmu karena kamu sendirian hari itu. Kamu benar-benar terkejut. Raut wajahmu saat itu adalah sebuah mahakarya.

Apa menurutmu hanya kebetulan saat aku bilang aku melewati after party setelah ball game? Aku kira ketahuan bohong, tapi kamu benar-benar mempercayainya. Aku hampir berpikir, “Kamu bodoh”. Tapi aku senang kepalamu tak terluka dan apapun. Aku cukup khawatir tentang ...... kalau-kalau terjadi sesuatu.

Lalu saat festival budaya. Aku menantikan menyaksikan konser terakhir bersama Kumiko, tapi aku tak dapat menemukanmu. Kau bahkan tak ada di ruang klub Kyouchiken. Kemana kamu pergi?

Kemudian, saat kamu memegang tanganku di kertea yang penuh sesak, aku benar-benar sangat gugup. Iijima juga sama saat itu kan? “Aku tidak ingin melepaskannya”. “Aku ingin bergandengan tangan selamanya.”

 

Aku bertanya-tanya mengapa kita begitu jauh sekarang.


Mungkin ini salahku. Aku tidak memiliki keberanian untuk mencari tahu kebenaran tentang mengapa dia menjauhkan diri dari ku. Aku menunggu kesempatan untuk mengatakan “Maaf,” tapi pada akhirnya aku tak bisa mendapatkan kesempatan itu. Dia bahkan tak memberiku informasi kontaknya berarti dia tidak ingin berhubungan dengan ku lagi. Namun, aku tidak bisa melakukan apa pun yang membuatnya berpikir aku menyebalkan.


Tetapi ......

“Iijima...”

Bahkan air mata yang lebih besar tumpah dari mataku.

Aku sangat sedih karena tak dapat melihat senyum lembut itu lagi dan tanpa sadar aku menyebut namanya dengan keras.

Kenapa dia mengatakan hal-hal seperti “Itu menyenangkan” atau “Aku beruntung bisa pulang dengan—” tepat sebelum kita berpisah, laki-laki itu. Aku mencoba menyerah padamu, tapi kau memberi kebaikan terkahir padaku, jadi hati ku akhirnya menginginkan mu lagi. Tidak mungkin aku akan jatuh cinta pada orang lain dalam situasi ini. Jika akan seperti ini, aku seharusnya pulang dan berbicara denganmu. Aku sebenarnya turun di stasiun dekat dengan rumah Iijima tiga hari yang lalu, tapi aku tidak punya keberanian untuk berbalik, yang aku sesali.

Namun, jika dia datang menemui ku lagi, Aku akan dapat mengatakan kepadanya tanpa ragu-ragu. Aku akan bilang, “Aku minta maaf,” dan “Tolong jangan tinggalkan aku,” Aku dengan tulus berharap bisa kembali ke masa ketika kita bersama, meski hanya sebentar. Tapi tidak mungkin aku bisa menemukan keajaiban seperti itu di manapun di dunia ini...

Pada saat itu, tiba-tiba, aku mendengar suara rem yang terburu-buru dari dekat.

Aku mendongak kaget. Kemudian, sekitar 20 meter jauhnya, di sisi kanan jalan, seorang anak laki-laki yang aku lihat sebelumnya menendang jongkrak untuk memarkir sepedanya. Tapi dia terburu-buru dan jongkraknya tidak stabil, jadi dia menyerah dan dengan kasar meletakkan sepedanya di pinggir jalan.

Sementara aku terkejut sampai-sampai tubuh ku menegang, anak laki-laki itu berlari ke arah ku. Dia berhenti tepat di depan ku dan menyipitkan matanya di balik kacamatanya dan memutar mulutnya dengan menyedihkan seolah-olah dia sedang membuat alasan sambil terengah-engah di bahunya, kepadaku, yang tidak tahu apa yang telah terjadi.

“Maaf, aku lupa sesuatu.”

Saat aku sampai di depan taman tempat ku meninggalkan Kitaoka, untungnya dia tak terllau jauh dari saat aku meninggalkannya, duduk di tangga bata menunduk kebawah.

Mungkin aku terlalu cepat, aku melewatinya sedikit. Aku mengerem sepedaku, yang tidak menjongkrak dengan benar, ke sisi jalan, berbalik dan berlari menuju Kitaoka.

Suara rem pasti menarik perhatiannya, karena dia berdiri dan menatapku dengan linglung. Aku bisa merasakan jantungku berdebar kencang di dadaku.

Aku bilang, “Aku melupakan sesuatu,” dan berbalik menghadap Kitaoka, kedua pipinya basah oleh air mata yang mengalir tanpa henti.

(Gawat, dia menangis.)

Aku bertanya-tanya apa yang membuatnya menangis.

Sebelum aku sempat menanyakan apa yang salah, dia menoleh dan mengeluarkan suara yang tidak jelas.

“Ijima, maafkan aku!”

Dengan bunyi “don” dia menyentuh dadaku dengan sisi lain tangannya. Gerakan polos yang membuatku sakit seolah-olah aku diperas lebih dalam dari tempat aku dipukul. Sepertinya alasan dia menangis adalah karena aku.

Dia tidak perlu menyangkal bahwa Tamari dan Miyu mengatakan hal-hal aneh. Aku sudah tahu bahwa itu tak benar.

Dengan lembut aku meremas pergelangan tangannya. Aku merasa kasihan padanya saat aku memikirkan bagaimana dia telah berjuang selama ini, dan aku terdiam pada diriku sendiri yang selama ini melarikan diri.

“Lupakan saja.”

Bukan itu yang ingin ku katakan sampai-sampai kembali kesini. Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu menangis.

Karena aku hanya bisa terlihat bingung, Kitaoka melanjutkan dengan suara serak.

“Aku hanya mengatakan kebohong, bilang “orang itu” tapi sebenarnya aku gak bermaksud seperti itu.”

Aku tahu, aku tahu, tidak apa-apa, menepuk kepalanya, tapi dia terus menangis.

“Kitaoka.”

Aku memanggilnya, tapi dia bahkan tidak menjawab.

Aku mencoba menenangkannya dengan mengusap bahunya, tapi isak tangis Kitaoka tidak mau berhenti, dan dia sepertinya tidak dalam kondisi yang bisa ku ajak bicara.

Aku hanya memiliki sedikit pengalaman berurusan dengan perempuan, aku tahu tahu cara menenangkannya.

Saat itu, sebuah ide muncul di kepalaku, mungkin jika aku mengatakan ini, dia akan terkejut dan berhenti menangis sedikit. Aku tak bisa memprediksi tanggapannya terhadapku nanti. Tapi aku ingin memberitahunya. Aku datang jauh-jauh ke sini hanya untuk mengatakan ini padanya.

Aku menghirup sedikit udara. Saat aku memanggilnya “Kitaoka” lagi, dia perlahan menatapku dengan air mata yang berlinang.

“Aku mencintaimu.”

Ini satu-satunya saat aku bisa melakukannya... “Aku mencintaimu,” kataku dengan harapan akan baik-baik saja dan aku tidak perlu mengkhawatirkannya lagi. Aku sangat mencintaimu sehingga aku sudah memaafkanmu karena berbohong.

Seperti yang diharapkan, bahu Kitaoka bergetar dan dia berhenti menangis untuk beberapa saat. Tapi saat dia melihat ke bawah lagi, dia semakin bergetar.

Saat aku hampir menyesal mengatakan sesuatu yang salah, hal yang tidak terduga terjadi.

Rambut cokelatnya menghilang dari pandanganku. Lalu aku merasakan sesuatu yang panas menekan bahuku. Lengannya melingkari punggungku dan aku tidak bisa bergerak. Jantungku melonjak liar.

Kitaoka memelukku dan berbisik dengan suara lemah.

“Aku juga... cinta. Benar-benar menyukaimu!”

Segera setelah mendnegar ini, aku merasakan gelombang kegembiraan, seolah-olah semua darah di tubuh ku mengalir kembali.


Aku suka gadis ini.

Dan dia juga menyukaiku.


Hanya itu yang membuatku bahagia, sangat bahagia hingga kupikir aku bahkan bisa mati saat ini. Aku yakin aku tidak akan pernah bisa mengalami emosi yang mematikan seperti ini dalam hidupku.

Dengan hati-hati aku melingkarkan tanganku di tubuh langsingnya. Setelah membelai punggungnya beberapa kali, gemetar akhirnya tampak mereda.

“Ijima.”

Dia terkikik sambil menempelkan mulutnya di leherku.

“Katakan itu lagi.”

Aku hambir berseu, “Apa?” Aku sudah bilang sbeelumnya kan, tapi cukup memalukan untuk dimohon lagi.

“Aku... cinta?”

Saat aku menjawab dengan akhir yang kacau, dia menggelembungkan pipinya.

“Apa itu?”

Aku bisa mendengarnya cekikikan. Dia akhirnya tampak tertawa, dan Aku lega mendengarnya.

Dan Saat aku bergumam, “Oh, ......,” Kitaoka mendongak dan bertanya, “Apa?”“

“Aku minta maaf ....... Aku telah membuat alasan dan berpura-pura tidak tahu bagaimana perasaanmu.”

Dalam perjalanan pulang dari prep-school, sepulang sekolah saat ball game, di festival budaya sekolah, dan hari itu ketika kami berpegangan tangan ......

Dia memberiku banyak kode, tapi aku begitu terperangkap dalam hal-hal kecil sehingga aku berpaling dari perasaannya yang sebenarnya.

“Kau sudah menungguku begitu lama, bukan?”

Dia ingin aku lebih dekat dengannya. Gadis ini mungkin tidak menyukai ide memaksa hubungan karena dia canggung dan tidak familiar dengan itu.

“Aku senang menyadarinya”

Aku yakin dari dalam lubuk hatiku. Jika aku tak penakut dan penyayang, aku tidak akan bisa menyelamatkannya, menjadi shield untuk tubuh yang mulus dan langsing miliknya.

Kitaoka mengangguk dengan jujur, “Ya,” dan membiarkan pipinya bersentuhan dengan leherku.

“Aku akan menunggumu mulai sekarang, jadi pastikan kamu kembali nanti ya.”

(Eeh ..........)

Aku benar-benar malu dengan sikap manisnya yang tiba-tiba dan aku ditarik ke kenyataan.

Aku melihat sekeliling dan taman di tengah area perumahan sepi, mungkin karena matahari hampir terbenam, dan sepertinya tidak ada yang melihat kami dan menuduh kami apa pun.

Kami saling berpelukan dan bergumam satu sama lain seolah-olah sedang bercanda dan menggoda.

“Bukannya sangat jauh sih.”

Jadi tolong jangan bicara seperti itu padaku, seolah-olah ini adalah perpisahan. Jika ingin pergi kesana, mungkin akan menempuh perjalanan sehari, tidak sejauh yang Kitaoka pikirkan.

Kata-kata itu dimaksudkan untuk meyakinkannya, tapi dia menggelengkan kepalanya seolah dia tidak mau.

“Tapi aku tidak akan bisa melihatmu setiap hari lagi.”

Air mata dalam suaranya kembali membuat hatiku sakit seperti diremas lagi.

Sampai sekarang, aku bisa melihatnya setiap kali aku pergi ke sekolah, bahkan jika aku tidak membuat janji. Bahkan kalau kami tidak berbicara satu sama lain di kelas, kami masih bisa bertemu. Aku masih tidak bisa membayangkan betapa bahagianya semua itu. Tapi mulai sekarang, tidak peduli seberapa besar aku menginginkannya, aku tidak akan pernah bisa mendapatkannya.

“Aku mengerti. Aku akan merindukanmu.”

“Aku Merindukanmu juga.”

Mau tak mau aku mencintai tubuh, yang tak sebesar milikku, seolah-olah dipenuhi dengan semua yang kubutuhkan untuk kucintai, aku memeluknya dengan erat untuk melawan kecemasanku.

Aku ingin seperti ini selamanya, tapi aku juga harus pulang. Sebelum aku menyadarinya, matahari hampir terbenam, dan pohon-pohon dan tanah ditutupi dengan suasana malam.

Saat aku perlahan menarik diri, Kitaoka menatapku dengan mata bengkak.

“Kenapa?”

Bibir kecilnya bergerak sedikit.

Aku ingin tahu apa itu “jangan pergi” atau “semoga berhasil” yang keluar dari bibirnya.

Tapi yang muncul di telinga ku adalah kalimat yang bukan keduanya.

“Rasanya, kek gak nyata. Iijima kembali padaku....”

Wajahnya memanas Dengan kata-kata itu, dia bisa merasakan betapa dia menginginkanku”

“Gak bohong loh...”

Dia mengambil tangannya yang mencengkeram lengan bajunya dan menjalinnya dengan tangannya sendiri.

“Lihat, aku di sini.”

Aku bukan ilusi. Aku pasti di sini, dan aku memikirkanmu jauh lebih kuat dari yang bisa kau bayangkan. Dan meskipun aku pergi sekarang, aku pasti akan kembali padamu.

Dengan janji ini di hatiku, aku menggenggam tangan yang terhubung ke tanganku sekencang yang aku miliki ketika kami hampir terpisah di kereta yang penuh sesak.

Sebelumnya  Daftar isi  Selanjutnya



Related Posts

There is no other posts in this category.

1 komentar

Posting Komentar