The Determination of an 18 Year Old
Selama liburan musim dingin, Yasuki sibuk dengan prep school dari pagi
hingga malam.
Untungnya, tidak ada seorang pun dari SMA yang sama di sekitar, dan aku
dapat menghindari hubungan yang merepotkan dari rumor, jadi aku berkonsentrasi
pada persiapan ujian saat aku berada di prep-school.
Dalam perjalanan pulang, aku menuju ke stasiun Chiba sebelum waktu
keberangkatan kereta dan naik kereta menggunakan pintu masuk yang berbeda dari
yang aku gunakan sebelumnya. Dengan begitu, meskipun Kitaoka ada di sana pada
saat yang sama, aku tidak mungkin bertemu dengannya, dan aku juga tidak perlu
melihatnya. Hati nurani ku akan sakit jika dia terlihat kesepian atau
sendirian, dan di sisi lain, akan mengejutkan jika dia terlihat baik-baik saja
dan tidak peduli. Bagaimanapun, aku tidak ingin bertemu Kitaoka secara ceroboh.
Sementara itu, akhir tahun semakin dekat dan tahun baru pun menjelang.
Aku menghabiskan sepanjang hari belajar, tanpa membiarkan pikiran ku
mengembara. Berkat usaha ku, aku bisa mendapatkan nilai bagus dalam
kesusastraan Jepang kuno dan modern, yang menjadi kelemahan ku.
Pada hari terakhir liburan musim dingin, yang tampaknya berlangsung
lama, salju pertama turun agak terlambat di kawasan selatan Kanto.
Yasuki berencana tinggal di kelas hingga sore hari. Namun, ada prakiraan
cuaca akan berubah menjadi badai. Ini mengangkat masalah staf yang akan pulang,
dan prep school ditutup lebih awal di malam hari.
Yasuki yang baru saja pergi dengan enggan menuju stasiun. Sesuatu yang
putih perlahan turun dari langit. Itu terasa dingin dan meleleh saat menyentuh
pipinya, jadi Yasuki menarik hody jaketnya ke atas kepalanya untuk
menghangatkan tubuhnya.
Pada saat dia sampai di peron bawah, dia memiliki sedikit waktu sebelum
kereta berangkat. Dia menunggu sebentar, karena dia tidak tidak harus kembali
ke kampus.
Sedikit lebih jauh, dia menemukan bangku kosong. Yasuki duduk di atasnya
dan melihat ke kejauhan.
(...... Cantiknya.)
Salju turun tanpa suara di pusat kota yang biasanya sibuk. Warna putih
salju membuat ku merasa bahwa semua depresi dan kecemasan dimurnikan untuk
sementara.
Aku menghela nafas lega. Aku sangat sibuk selama dua minggu terakhir
sehingga aku bahkan tidak sempat merasakan perubahan di luar. Sejujurnya, aku
tidak tahu apa yang harus dilakukan tentang Kitaoka atau ujian ku, aku sibuk.
Namun, aku berhasil melewati liburan musim dingin ini dengan meyakinkan pada
diri ku sendiri bahwa aku harus belajar.
Namun, aku harus kembali ke sekolah besok. Jika aku pergi ke sekolah,
aku akan bertemu dengan Kitaoka, dan aku mungkin diperlakukan buruk karena
rumor yang beredar. Berpikir bahwa besok akan jauh lebih sulit daripada hari
ini, aku tidak ingin memikirkan ini lebih jauh.
Aku menguap dengan keras karena kurang tidur. Salju turun di depan
pandanganku yang tertunduk, dan sunyi, seolah-olah aku tidak diganggu sejak
hari itu turun.
(Aku berharap waktu akan berhenti ...... seperti ini.)
Aku memasukkan tanganku ke dalam saku dan perlahan menutup mataku. Saat
aku mulai tertidur di bangku, aku tiba-tiba merasakan sesuatu yang panas di
sekitar pelipis ku.
(Apa?)
Aku gemetar karena terkejut. Aku buru-buru mendongak hanya untuk melihat
seorang gadis berjas berdiri di sana menatapku dengan sekaleng kopi di
tangannya. Dia memiliki wajah yang cerah seperti salju, dan rambut panjang
halus seperti sutra. Itu adalah Kitaoka. Sepertinya wajahku baru saja didorong
dengan kaleng yang dia pegang.
Aku merasakan sakit yang tajam di hati ku, dan suasana hati ku yang
mengantuk tiba-tiba ditarik kembali.
"Oh, .......
Oh tidak. Aku telah berhati-hati untuk tidak melihatnya selama dua
minggu terakhir, tetapi aku lengah pada saat-saat terakhir.
Karena Yasuki tidak bisa menyembunyikan ketidakpercayaannya, Kitaoka
menawarinya sekaleng kopi dan berkata.
"Dingin, bukan? Ini, aku memberikan ini kepadamu"
Di tangannya yang lain, dia memegang sebotol plastik teh susu. Kopi yang
satu mungkin sengaja dibeli untukku.
Dia mungkin bersusah payah membeli kopi untukku.
Tapi ......
"Tidak, ......."
Yasuki bergumam pada dirinya sendiri dan berdiri, mengalihkan
pandangannya. Dia memunggungi nya dan pergi, berharap agar dia tidak
mengikutinya.
Namun, yasuki terhenti
"Iijima!"
Aku mencoba untuk mengabaikannya, tapi dia mencengkeram lengan ku dengan
erat dan menghentikannya. Ketika aku berbalik, dia menanyai ku..
"Kenapa kamu pergi? Apa kamu mencoba menghindariku?"
"Kenapa, kah ......"
Yasuki merasa ingin berteriak, "Kamu tahu itu lebih baik dari ku,
bukan?” Yasuki akhirnya mengerti kebenarannya, jadi dia menjauh. Itu sampai
saat itu.
Tapi aku tidak ingin mengatakannya secara langsung. Jika aku
mengatkannya langsung, itu sama saja bahwa aku tertarik pada Kitaoka. Aku tidak
ingin Kitaoka tahu, jika dia tahu, sama saja dengan kekalahan ku.
Kemudian, apakah dia mencoba mengelak atau tidak, atau dia tidak tahu
bahwa Yasuki tahu kebenarannya, Kitaoka menurunkan bulu matanya dan berbisik
pelan.
"Aku sudah menunggu mu untuk sementara waktu..."
Itu terdengar sedih untuk sementara dan membuat hatiku meringis,
bagaimanapun, itu adalah kemampuan akting yang bagus
jangan mau dibodohi, aku mengatakan itu pada diriku sendiri dan
mengepalkan ibu jariku. Ketika aku melihat wajah sedihnya dari dekat, perasaan
negatif yang sudah aku tahun selama ini mulai muncul kembali ke permukaan.
(...... Hanya karena kau menunjukkan senyuman manis itu bukan berarti
semuanya akan sesuai yang kau inginkan.)
Percakapan antara Kitaoka dan temannya sangatlah arogan dan sombong.
Bahkan jika kita adalah siswa SMA yang sama, menyombongkan diri dan merendahkan
orang lain hanya karena penampilan mereka tidak sebaik dirimu. Itu sangatlah
tidak masuk akal, kau harusnya tahu itu.
Kereta meluncur ke platformnya bersamaan dengan suara yang bising, dan
kemudian itu terhenti. Ketika disekitar sudah kembali tenang dan sunyi, ku perlahan
membukan mulut ku
"Gomen..."
Ketika aku meminta maaf, mata ku bertemu dengan Kitaoka, yang mendongak
dan melihat kepada ku juga.
"Center sudah dekat, aku tidak ingin membuang-buang waktu."
Oleh karena itu aku tidak memliki waktu untuk berurusan denganmu
Mulutnya yang semula melunak, mulai membeku ketika mendengar kata-kata
dari ku.
Aku pura-pura tidak melihatnya dan berbalik untuk melihat kereta yang
tidak bergerak. Kereta itu adalah kereta lokal dari stasiun yang ku tuju, bukan
ke kota tempat Kitaoka tinggal.
"Ah, juga."
"Eeh, ......."
"...... mulai sekarang pulanglah lebih awal, Kitaoka."
Setelah mengatakan itu, aku melepas paksa tangan yang menggenggamku dan
berjalan memasuki kereta.
Pintu tertutup tepat dibelakangku, sepertinya aku tepat pada waktunya
akan berangkat.
Kereta mulai berjalan. Ketika aku melihat keluar jendela, mataku bertemu
dengan Kitaoka sekali lagi, yang terdiam di sana. Dia merasa bingung, tetapi
tetap melihat kearahku. Bibirnya mengerut dan mata nya terbuka lebar dalam
keputusasaan.
Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini adalah akibat dari membohongiku.
Tapi, semua yang ada dikepalaku adalah perasaan bersalah, tidak mungkin aku
akan bisa merasa lebih baik.
Sekarang dia tidak akan berurusan denganku lagi. Aku tidak tahu apakah
dia akan berganti target atau merubah pikirannya, tapi setidaknya dia tidak
akan berbicara padaku dengan cara yang ramah seperti sebelumnya.
Hal terakhir yang aku lihat adalah wajah dari gadis yang akan menangis.
Itu adalah hal yang sama yang aku lihat di gunung saat training camp.
Berpikir tentang itu, adalah awal mula dari kesalahanku.Jika saja aku
bersikap tidak peduli, atau jika aku tidak kalah dalam batu gunting kertas, dia
tidak akan mengikutiku kemudian, dan aku tidak harus merasakan ini semua.
Ingatan mengenai dirinya melelah dan menghilang seperti salju .Aku muak
dengan kenaifanku dalam berpikir bahwa apa yang dia katakan adalah sungguhan.
Rumor hanya
bertahan 75 hari.
Jika aku
percaya pepatah ini, maka perhitungan sederhana memberi tahu ku bahwa rumor ini
akan mereda pada awal Maret. Namun, rasanya hal itu akan memakan waktu
lama sampai saat itu.
Setiap kali aku
berjalan melewati gadis-gadis di sekolah, mereka semua akan lari dari ku, dan
setiap kali aku pergi ke kamar mandi, anak laki-laki yang bahkan tidakku kenal
akan mulai berbisik, memanggilku cabul. Secara individu, tindakan mereka
tidak terlalu bermasalah karena sifatnya yang sederhana, tetapi secara
kolektif, itu membebani mental. Sebagai orang yang sebelumnya tidak
menonjol, aku jarang menerima permusuhan dari orang lain, jadi aku merasa
perlakuan mereka terhadapku tak tertahankan.
Jadi, untuk
menghindari kontak dengan orang lain sebanyak mungkin, aku menghabiskan waktu
aku di kelas, mencoba untuk tetap tenang sampai akhir kelas, setelah itu aku
akan menghilang dari sekolah sebelum orang lain. Meski begitu, Katsuya
tidak secara terang-terangan menunjukkan tanda-tanda ketidaksenangan atau
permusuhan terhadapku. Aku tidak tahu apakah itu karena dia tahu bahwa aku
tidak memiliki smartphone, atau apakah dia benar-benar tidak mendengar
desas-desus itu sama sekali. Tapi aku bersyukur untuknya, karena bagiku,
dia adalah satu-satunya anugrah yang menyelamatkan di seluruh cobaan ini.
Aku
menghabiskan sisa hariku tanpa melihat ke arah Kitaoka. Kursi kami
terletak di ujung kelas yang berlawanan, jadi aku bisa tetap tidak terlibat
olehnya selama yangku mau.
“Yassan, kamu
tidak terlihat terlalu baik akhir-akhir ini, tahu? Apa kau bertengkar
dengan Kitaoka-san?”
Dalam
perjalanan pulang, Katsuya, yang berjalan tepat di sebelahku, menanyakan
pertanyaan itu kepadaku. Tebakannya setengah benar, tapi pertengkaran
hanya mungkin terjadi ketika ada tingkat keintiman tertentu. Ditambah
lagi, aku sebenarnya hanya mainan baginya, dan dia tidak pernah menganggapku
sebagai teman, apalagi kekasih. Jadi itu mungkin terlihat seperti pertengkaran,
tapi pada kenyataannya itu adalah sesuatu yang lain.
“Tidak… ujian
akan datang, jadi bukankah semua orang mengalami hal yang sama?”
Aku tertawa dan
melontarkan beberapa alasan acak untuk menepis kekhawatirannya. Katsuya
tampak tidak yakin, tapi dia tetap menganggukkan kepalanya.
“Tapi tahukah
kau, Kitaoka-san juga terlihat agak aneh. Aku perhatikan dia tidak banyak
bicara lagi.”
"Benarkah?"
“Ya… Faktanya,
kamu lebih dekat dengannya daripada aku, jadi bukankah kamu seharusnya
memperhatikan ini juga?”
Memiliki komentar tajam yang ditujukan kepada ku membuatku bingung bagaimana aku harus menjawab. Aku tidak bisa mengatakan kepadanya, "Aku tidak menyadarinya karena aku berusaha menghindari menatapnya sebanyak mungkin," jadi aku hanya berpura-pura tidak tahu dan memberinya jawaban yang tidak jelas, dengan mengatakan, "Aku juga tak tahu".
Itu adalah hari
Sabtu ketiga bulan Januari. Hari pertama Center Test akhirnya tiba. [kek
ujian masuk universitas]
Aku merasa
cemas, tapi aku pergi tidur lebih awal tadi malam, jadi tubuh ku terasa
ringan. Ketika aku tiba di stasiun dalam cuaca dingin yang menusuk, aku
melihat wajah yang tidak asing di depan gerbang tiket.
"Tamu."
Aku
memanggilnya, dan dia, Tamura Nanami, menoleh ke arahku dan mengangkat
tangannya tanpa banyak perubahan dalam ekspresinya saat dia berkata, “Yo”.
“Pagi,
Messi. Dimana Peyoung?”
Sepertinya dia
bahkan menganggapku dan Katsuya sebagai satu set makanan. Ada gadis lain
yang mengatakan hal serupa juga, ya, pikirku sambil tersenyum kecut padanya.
“Sepertinya dia
ditugaskan ke tempat tes yang berbeda karena suatu alasan. Itu agak jauh,
jadi dia pergi duluan.”
“Ah, aku
mengerti. Sepertinya dia juga tidak beruntung.”
Tamura
menggumamkan kata-kata kasihan pada Katsuya.
Tapi, Katsuya
pada dasarnya menyerah untuk lulus Center Test sekarang, lebih memilih untuk
mengambil jeda setahun kemudian. Ketika aku mengatakan ini kepada Tamura,
dia berkata, "Itu benar-benar terdengar seperti sesuatu yang akan
dilakukan Katsuya," sambil memperbaiki ponynya yang hanya menutupi satu
sisi wajahnya.
Rupanya, ada
banyak siswa yang memilih untuk mengikuti ujian dengan seragam sekolah mereka,
tapi aku dan Tamura memilih pakaian biasa. Tamura mengutamakan kepraktisan
dan mobilitas, sehingga ia memilih untuk mengenakan jaket dan celana
jeans. Aku juga sama.
Meskipun hari
Sabtu, kereta cukup ramai, jadi kami berbicara satu sama lain sambil berdiri
saat kereta menuju stasiun tempat venue berada.
Pada awalnya,
kami membahas rumor tentang betapa sulitnya ujian serta berbagai topik yang
kemungkinan akan dibahas dalam ujian saat kami mempelajari buklet yang
diberikan prep school kepada kami, tapi akhirnya percakapan itu mereda, dan aku
mengambil inisiatif untuk mengajukan pertanyaan kepada Tamura.
"Hei,
Tam."
"Ya?"
“Rumor aneh
yang kamu bicarakan tempo hari… Apakah maksudmu rumor tentang smartphone dan
gambar-gambar dan semacamnya?”
Dia menatapku,
sepertinya mengukur reaksiku. Ekspresinya sedikit goyah sebelum akhirnya
dia mulai berbicara.
“Ah… jadi kamu
akhirnya mengetahuinya?”
Aku
mengangguk. Tamura kemudian tertawa sebelum melanjutkan, tampaknya
berusaha untuk mengabaikannya.
“Ini
benar-benar mengerikan, bukan? Kamu bahkan tidak akan punya nyali untuk
melakukan hal seperti itu sejak awal.”
Bahkan, kau tidak
memiliki smartphone, tambahnya.
Biasanya, aku
tidak begitu menyukai sikap merendahkan Tamura, tapi sekarang sikapnya yang
angkuh berganti menjadi rendah hati.
Bagaimanapun…
“Aku
benar-benar ingin pergi ke suatu tempat yang jauh…”
Hidupku telah
damai dan lancar. Tapi semuanya berantakan saat aku terlibat dengan
seorang gadis.
Aku tidak tahu
siapa yang memulai rumor tentang ku. Aku punya firasat samar bahwa
hubunganku dengan Kitaoka berperan di dalamnya, tapi karena aku tidak punya
bukti substansial yang menunjuk ke sumber potensial untuk rumor itu, aku
bingung bagaimana aku harus menghadapinya. Ini benar-benar membuatku lelah
secara mental, dan itu membuatku gugup.
Aku hanya
lelah. Aku muak dengan semuanya, dan aku ingin membuang semuanya.
Menanggapi rengekanku,
yang jarang kulakukan, mulut Tamura meringis saat dia dengan putus asa
menjawabku.
"Kamu
orang bodoh."
Dia menggulung
buklet yang dia pegang di tangannya dan memukul kepalaku dengan itu.
"Jika kau
punya waktu untuk mengkhawatirkan hal-hal yang tidak perlu seperti itu, maka kau
harus mengalokasikan waktu itu untuk fokus pada apa yang ada di depanmu sebagai
gantinya."
Ungkapannya
kasar, tapi itu pasti masuk akal dan perlu. Center Test yang sangat
penting akan berlangsung dalam hitungan menit. Ini bukan saatnya untuk
terganggu oleh hal-hal lain.
Aku bahkan
tidak bisa mengerang mendengar kata-katanya saat aku tetap diam. Tapi
tiba-tiba, aku mendengar desahan datang dari Tamura sebelum dia melanjutkan.
“Tapi, yah…
kupikir itu pilihan yang sangat masuk akal, kau tahu?”
Apa yang dia
maksud dengan itu?
Ketika aku
balas menatapnya, dia terus berbicara dengan nada acuh tak acuh.
“Aku pikir
mengambil risiko dan melamar sekolah yang jauh dari sini juga merupakan pilihan
yang sangat masuk akal.”
"Hah…?"
Pendapat Tamura
yang tak terduga membuatku menatap wajahnya dengan tak percaya.
Ekspresinya
tidak membuatnya tampak seperti sedang bercanda, dan itu juga bukan sesuatu
yang baru saja dia katakan secara mendadak. Ekspresinya selalu seperti
itu: tenang dan santai.
“Rumor mungkin
akan mereda di masa depan, tapi tetap saja; begitu orang mengaitkan image mu
dengan label buruk kayak gitu, itu akan sangat sulit.”
Pilihan
kata-katanya sepertinya membawa semacam makna tersembunyi.
Mungkin dia
pernah mengalami pengalaman serupa di masa lalu. Tapi, membicarakan topik
ini secara tidak bijaksana mungkin akan membawa kembali beberapa luka lama…
Aku mencoba
bersikap perhatian, tapi Tamura melanjutkan dengan gumaman rendah, menempelkan
senyum hampa di wajahnya.
"Aku juga
memiliki sedikit reputasi sebelum aku pindah ke sekolah ini."
“Sedikit
reputasi…?”
Ini pertama
kalinya aku mendengar hal seperti itu. Aku terkejut, tapi Tamura terus
berbicara seolah itu masalah sepele.
“Ada saat di
sekolah dasar ketika dana yang dikumpulkan kelasku menghilang. Kebetulan aku
yang terakhir di kelas, dan aku dicurigai sebagai pelakunya. Itu sungguh
mengerikan. Bahkan guru pun mencurigaiku.”
Dia berbicara
dengan lancar dan tanpa ragu-ragu, tapi aku yakin itu pasti cobaan yang cukup
sulit.
Tidak yakin
harus berkata apa padanya, aku tetap diam saat dengan canggung membiarkan penglihatan
ku berkeliaran.
“Beberapa waktu
kemudian, uang itu ditemukan di loker yang tidak terpakai dan kosong, tapi… ada
beberapa orang yang terus memperlakukan aku seperti pencuri, bahkan setelah
uang itu ditemukan.”
“Aku tidak
tahu…”
“Ya,
baiklah. Aku tidak pernah memberitahumu, jadi…”
Tamura adalah
seorang gadis yang pindah ke sini dari prefektur lain ketika dia memasuki SMP. Aku
belum pernah mendengar dia berbicara tentang hidupnya sebelum SMP, dan aku
hanya berasumsi itu karena tidak ada orang lain yang berasal dari sekolah yang
sama dengannya. Aku tidak tahu dia memiliki masa lalu yang cukup buruk
sampai sekarang. Dan yang lebih parah lagi, itu saat sekolah
dasar. Karena mereka masih sangat kecil, sifat mereka tanpa ampun, dan
mereka tidak tahu bagaimana menggunakan kebijaksanaan dalam berurusan dengan
orang lain. Itu sebabnya Tamura mungkin diperlakukan jauh lebih buruk
daripada caraku diperlakukan sekarang.
Dia tentu saja
orang yang dewasa, dan kata-kata serta sikapnya mungkin terlalu blak-blakan dan
langsung, tetapi semuanya masuk akal. Mengetahui bahwa pengalaman yang
kejam dan tragis adalah alasan di balik sifatnya yang berkemauan keras membuat aku
merasa menyesal dan kasihan padanya.
“Itulah mengapa
aku pikir memulai dari awal di tempat yang sama sekali berbeda mungkin
merupakan ide yang bagus.”
"Apakah
begitu…?"
"Ya. Pergi
ke tempat-tempat baru dan asing mungkin menjadi pengalaman yang sangat segar
dan menyenangkan.”
Kemudian, dia
mengangkat ujung mulutnya yang agak besar dan tersenyum bahagia. Sekarang
kalau dipikir-pikir, saat aku berada di kelas yang sama dengannya di tahun
pertamaku di SMP, dia jarang tersenyum seperti ini. Aku yakin kata-katanya
tidak mengandung kebohongan di dalamnya. Aku percaya bahwa ada banyak hal
positif yang datang dari meninggalkan tempat yang kau kenal atau mengubah
lingkungan mu.
“Ngomong-ngomong,
Tamu. Universitas mana yang kau lamar?”
Ketika aku
menanyakan pertanyaan ini, dia tidak menunjukkan sedikit pun niat untuk menyembunyikan
informasi ini saat dia menyebutkan nama beberapa universitas elit. Dia
juga mengatakan bahwa dia mencoba untuk masuk ke departemen ekonomi.
"Ekonomi? Itu
agak tidak cocok untukmu … ”
“Ya, aku sedang
berpikir untuk menjadi seorang akuntan. Ini adalah cara tercepat untuk
mendapatkan pekerjaan profesional tanpa terjerat dalam humaniora.”
Mendengar
kata-katanya dan nada suaranya yang benar-benar tak tergoyahkan, aku hanya bisa
tertawa.
Saat aku terus berbicara dengan Tamura, aku perhatikan bahwa kegugupan sebelum ujian dan kecemasanku tentang masa depan telah berkurang, hanya sedikit.
Kemudian,
ketika kami tiba di kampus universitas swasta tempat ujian diadakan, kami
menemukan bahwa siswa ditempatkan di ruang kelas berdasarkan urutan abjad, dan
karena nama ku, Iijima, dimulai dengan huruf I dan Tamura dimulai dengan huruf
T, kami harus mengikuti ujian di gedung yang berbeda, dan akhirnya, kami pulang
secara terpisah juga.
Pada hari kedua
ujian, setelah aku menyelesaikan semua 5 mata pelajaran dan 7 mata pelajaran, aku
tiba di rumah, melihat jawaban yang dipublikasikan di situs web prep school ku,
dan segera mulai menilai diriku sendiri.
Hasilku biasa
saja. Nilai rata-rata untuk ujian belum diketahui, jadi aku tidak bisa
mengatakan dengan pasti, tapi aku pikir nilaiku masih dalam kisaran ekspetasiku.
Aku inginnya
mendaftar di sekolah umum, dan jika aku tidak bisa, maka aku akan mendaftar di
sekolah swasta di Tokyo. Itu akan memakan sedikit waktu, tetapi kakak
perempuan ku pergi ke universitasnya dengan kereta api setiap hari, dan aku
berencana untuk melakukan hal yang sama.
Tapi sekarang
aku sudah memutuskan. Sebagai perubahan rencana, aku akan mendaftar di
sekolah umum yang jauh. Tinggal sendirian di pedesaan akan menghabiskan uang
sewa yang murah, dan itu akan menjadi beban yang jauh lebih ringan bagi orang
tua ku.
Aku berpikir
bahwa saran Tamura pada dasarnya bahwa aku mengakui "kekalahan" ke
Kitaoka.
Namun, mungkin
tidak banyak yang bisa diperoleh dengan menentang fitnah dan pencemaran nama
baik secara tegas. Orang-orang di sekitar ku, pada akhirnya, tidak
bertanggung jawab dan lalai. Bahkan jika aku membuktikan bahwa aku tidak
bersalah, aku yakin masih akan ada orang yang akan mengatakan apa pun yang
mereka inginkan, dan tidak peduli seberapa besar aku merasa tidak nyaman dengan
tindakan mereka, tidak ada yang bisa menghukum mereka.
Untungnya,
Katsuya, Tamura, dan orang lain yang dekat dengan ku percaya bahwa aku tidak
bersalah. Itu saja yang aku butuhkan. Aku hanya akan kembali sesekali
untuk bertemu dengan mereka, dan jika ada orang lain dari sekolah ku mengatakan
sesuatu yang buruk padaku saat itu, maka aku akan membiarkannya.
Aku
membandingkan daftar nilai penyimpangan yang diberikan oleh prep school ku
dengan hasil Center Test ku yang aku nilai sendiri sebelumnya untuk membuat
daftar sekolah yang hampir pasti bisa aku masuki.
Kemudian, aku
menyelidiki statistik universitas yang dipilih oleh siswa SMA Nansou dari tiga
tahun terakhir. Aku memilih universitas yang tidak pernah dilamar oleh
siswa, atau universitas tempat siswa mendaftar, tetapi akhirnya memilih untuk
tidak hadir.
Aku akhirnya
menemukan universitas yang sempurna dengan jurusan dan program studi yang
bagus. Ketika aku memeriksa situs web mereka, aku menemukan bahwa mereka
sedang meneliti topik yang menurut ku sangat menarik, seperti "penelitian
tentang senyawa polimer seperti bahan luminescent organik".
(Jadi di
Yonezawa, ya…) [Yonezawa, nama sebuah kota di Prefektur Yamagata]
Kampus itu
terletak di wilayah yang terkenal dengan hujan saljunya yang lebat. Aku
tidak suka cuaca dingin, tapi aku sangat menyukai salju. Jika aku tinggal
di sana, aku pikir aku mungkin bisa bergaul dengan baik.
Untuk ujian
tengah tahun, kau diharuskan mengikuti ujian matematika, ujian fisika, atau
ujian kimia. Untungnya, bahasa Inggris, mata pelajaran yang tidak aku
kuasai, dikeluarkan dari daftar.
(…Baik)
Mari kita pergi
ke universitas ini. Aku senang aku belajar begitu keras pada fisika dan
matematika. Aku yakin ini adalah cara Tuhan menyuruhku pergi ke sini.
Sampai
sekarang, aku mendapat kesan bahwa jika aku berhenti sekolah, sepertinya aku
akan menyerah pada semua rumor, jadi aku bertekad untuk muncul di sekolah tidak
peduli apapun dampaknya.
Tapi sekarang, aku
punya tujuan dalam pikiran. Aku akan pergi ke tempat di mana tidak ada
yang tahu siapa aku. Di sana, aku akan memulai hidup ku lagi sekali
lagi. Aku tidak peduli seberapa rendah reputasiku saat ini selama itu
membantuku mencapai tujuanku. Kemudian, setelah aku pindah, aku akan
memastikan bahwa tidak ada yang pernah mengejek ku sebagai "otaku"
atau "cabul" lagi. Aku merasa melakukan semua ini pada akhirnya
akan membantuku melupakan wajah gadis itu dan menghapus semua jejak bayangan
gadis itu, yang masih melekat di sudut pikiranku, menyiksaku dari waktu ke
waktu.
Toko buku di
dekat rumah ku tidak memiliki buku kerja ujian masuk untuk universitas tempatku
ingin mendaftar, jadi aku memesannya saat itu juga. Toko menghubungiku
keesokan harinya, memberi tahuku tentang kedatangan buku itu.
Sejak hari itu,
aku tidak pergi ke sekolah, malah mengurung diri di rumah dan menyelesaikan
semua soal ujian yang lalu.
Tidak ada lagi
yang bisa mengikat ku lagi.
Min lanjut min mantep mengocok perasaan bgt
BalasHapusUp lagi min sedih bet
BalasHapus