Berjalan dari sekolah ke stasiun memakan waktu
sekitar lima belas menit. Selama waktu itu, aku berjalan pulang berdampingan
dengan gadis yang dua tahun lebih muda dariku, mengobrol tentang hal-hal
sepele.
Ketika aku bertanya di klub mana dia berada,
dia menjawab, "Aku di klub paduan suara."
“Begitu. Paduan suara ya, itu bagus.”
Ucap Yasuki, Nakajo memiringkan kepalanya
sedikit penasaran.
“Benarkah?”
"Ya, aku berpikir betapa bagusnya
suaramu."
Suaranya tinggi dan jernih, namun sedikit
gemetar dan naik turun. Saat dia mengakui perasaannya kepadaku beberapa waktu
yang lalu, kata-katanya adakan bergema di hatiku dan aku mungkin tanpa sadar
mengatakan ya jika aku tidak berhati-hati. Jika dia bukan di paduan suara, akan
cocok di teater, menggunakan semua kualitas suarannya.
Tanpa disadari, Pipi Nakajo memerah, aku
menggodanya.
“Coba bernyanyi dong”
Nakajo menurunkan pandangannya karena malu,
tapi berbicara dengan nada yang jelas.
“Mungkin nanti setelah turun dari kereta.”
Sepertinya belum bisa mendengar suara
bernyanyinya sekarang. Aku mendengar suara tawa kecil yang menyenangkan di
telinga, aku akan mendengarnya bernyanyi ketika turun dari kereta.
Kami tiba di stasiun, terkadang mengobrol
dengan canggung, dan ada sedikit waktu sebelum kereta berangkat.
Uang di kartu komuter ku sepertinya hampir
habis, aku bilang ke Nakajo "Aku akan mengisi ulang," kemudian dia
bilang, "Oke, aku akan ke kamar kecil dulu," dan pergi ke gedung
stasiun.
Berdiri di mesin tikert di sebelah gerbang
tiket, aku mengeluarkan dompet dari saku, memasukkan kartu dan uang cash
sekitar 3000 yen, dan menyentuh layar.
Setelah selesai mengisi ulang, aku memasukkan
dompet ke saku dan bersandar pada pilar di depang gerbang tiket menunggu
Nakajo.
Dan lalu, aku sadar bahwa aku tak membawa kantong
kertas yang telah tergantung di tanganku beberapa saat yang lalu.
Oh tidak,
itu adalah coklat yang sudah susah payah dibuat Nakajo. Aku marah pada diriku
sendiri karena begitu ceroboh.
Aku pasti meninggalkannya di tangga di depan
mesin tiket ketika aku mengisi ulang. Rasanya aneh, aku juga agak gugup
rupanya. Memikirkan itu, aku balik lagi kesana.
"Eh..."
Aku melihat sesuatu yang tak terduga,
pandanganku, aku sangat terkejut sehingga tak sadar bergumam.
Seoarang siswa prempuan yang akrab dari sekolah
yang sama berdiri di tempat yang sama seperti ku sebelumnya.
Wajah gadis itu, yang terawat bahkan bisa
dilihat dari kejauhan, terlihat suram ketika dia menunduk kebawah.
Dia mengenakan syal yang melilit rambut
panjang berwarna coklat tua mengkilat, dan rok pendeknya memperlihatkan kakinya
yang terlanjang, memberikan kesan yang berbeda meskipun dia mengenakan seragam
yang sama dengan Nakajo.
(Kenapa kau disini…)
Kitaoka Ema perlahan berbalik dan menatapku.
Saat itu, hatiku melonjak sangat kuat di hari yang memusingkan.
Aku bertanya-tanya apa dia belum lama pergi.
Karena Kitaoka berjalan kaki ke sekolah, dia biasanya tidak menggunakan
stasiun. Apa dia ingin pergi ke suatu tempat dengan kereta api?
Kupikir mata kami bertemu sejenak, tapi aku
segera membuang muka dan pura-pura tidak menyadari. Bukannya aku akan berbicara
dengannya hanya karena kebetulan melihat, aku juga tak ada urusan dengannya.
Tapi, Kitaoka memegang kantong kertas yang aku
cari ditangannya, melihat kebawah. Mungkin dia akan mengantarnya ke suatu
tempat, berkata bahwa, "Aku menemukan barang yang tertinggal"
Ini buruk, aku harus mendapatkannya kembali
sebelum Nakajo datang. Yasuki berjalan menuju mesin tiket dan memanggil Kitaoka
dengan enggan.
"Maaf, itu punyaku..."
Kitaoka mendongak seolah-olah dihantam peluru.
Ekspresi di wajahnya tergambar canggung, seolah-olah dia baru saja bertemu
dengan orang yang tak ingin dia lihat.
Seolah-olah seperti...
(Apa aku yang tak ingin kau lihat?...)
Aku tahu itu tak bisa dihindari, tapi aku
masih sedih mengetahui bahwa dia berpikir begitu. Aku adalah korban yang lolos
dari perangkapnya di saat-saat terakhir. Aku hanya bisa menmbayangkan betapa
bangga dirinya ketika tidak tahu cara bersikap di depan orang itu.
Kitaoka mengalihkan pandangannya seolah ingin
melarikan diri dan mengulurkan kantong kertas di tangannya kepada ku.
“Ah… um… kau meninggalkan ini.”
Aku memberikan balasan yang ambigu, baik
"ya" atau "oh" dan mengambilnya kembali dari tangannya. Aku
melihat kedalam dan memeriksa, bungkus kertas putih yang Nakajo berikan
kepadaku masih ada dan utuh di dalamnya.
... Mungkinkah Kitaoka tahu apa yang ada di
dalam? Kantong kertanya sedikit terbuka diatas, tidak heran jika dia melihat
isinya tanpa mengintip kedalam.
Tidak ada yang salah jika dia tahu kan?
Bukannya dia punya hak untuk mengatakan apapun tentang ku sekarang, tidak
peduli siapa yang suka padaku.
Tapi—
Sekilas melihat wajah Kitaoka. Ketika mata
kami bertemu, dia bergumam sedikit dengan ekspresi lembut.
“Darimana…”
Namun, suaranya terhenti oleh suara indah
terdengar dari samping.
“Maaf membuatmu menunggu!”
“Ah…”
Saat aku menoleh ke asal suara, ada Nakajo
disana, napasnya tersendak di tenggorokan, mengintip dari kerumunan.
Nakajo berdiri di samping Yasuki, memeriksa
jam tangan cantik dan halus di lengannya, lalu berkata dengan nada yang
menyenangkan.
".... Keretanya di menit terakhir.
Sebaiknya kita segera berangkat."
Nakajo mendesak ku, menatap dan meraih lengan
seragam ku. Dia sepertinya tak melihat Kitaoka yang berada di balik orang atau
pilar.
“Ah… un…”
"kalau begitu" aku melihat Nakajo
sepertinya menyadari Kitaoka, kemudian dia membungkuk ramah padanya dan
tersenyum.
Saat Nakajo menarikku, aku berjalan melewarti
gerbang tiket ke paron tempat kereta tiba.
Didorong oleh momentum itu, aku tak sempat
melihat kebelakang.
Seperti yang dikatakan Nakajo, ketika kami
sampai di peron, kereta meluncur cepat tanpa menunggu lagi.
Ada sedikit penumpang di kereta, mungkin
karena gerbongnya panjang, kami duduk berdampingan di kursi penumpang.
Pemanas yang berhembus dikaki samar-samar
menghilangkan dingin di tubuh, aku melihat ujung sepatu kets ku,
bertanya-tanya.
Mengapa Kitaoka ada di stasiun?
Seharusnya homeroom selesai tiga jam yang
lalu. Rasanya aneh. Aneh rasanya jika dia menunggu selama itu, bahkan jika dia
berkumpul dengan teman-temannya di depan stasiun sesudahnya. Jika itu
masalahnya, dia seharusnya bersama seseorang disana.
Aku juga mengira dia akan naik kereta. Namun,
Kitaoka tampaknya tidak mengikuti kami saat kami bergegas, mungkin dia berada
di kereta yang berbeda. Dengan kata lain, dia tidak berencana untuk pergi ke
prep-school di tokyo.
Area diluar tokyo lebih terpencil dari yang
disini, biasanya aku tidak pergi kesana kecuali ada urusan khusus. Jika itu
masalahnya, dia pasti berencana untuk menemui seseorang. Tapi apa yang dia
lakukan di musim ujian yang begitu sibuk...
“…. orang imut yang tadi”
“Eh?”
Guncangan tak terduga dari Nakajo, Yasuki tak
sengaja mengeluarkan suara bodoh.
“Kelas tiga kan? Aku sering melihatnya
disekitar sekolah.”
Itu adalah Kitaoka.
Aku bertanya-tanya apa dia melihat isi
pikiranku, aku melihatnya, tapi wajah Nakajo tampak riang, dan sepertinya tidak
ada makna mendalam dari apa yang dia katakan.
Yeah, gadis itu menonjol, jadi ta heran
orang-orang di sekolah mengingatnya. Aku menekan kecanggungan dan bergumam.
“aah… kami di kelas yang sama.”
Aku tidak mengatakan lebih dari itu. Alasan
kami berbicara adalah karena aku "meninggalkan barang yang diberikan
kepadaku". Akan lebih baik jika Nakajo tidak mengetahui itu.
Kemudian Nakajo bertanya sesuatu yang tak terduga,
tanpa kehilangan senyuman di wajahnya.
“Apak kamu mendapatkan coklat?”
“Hah?”
Aku hampir dengan lantang berteriak. Gak
mungkin aku mendapatkan coklat, walaupun itu untuk suatu alasan.
Yasuki hanya tertawa dan menyangkal itu.
Bagaimanapun, dia merasa bermasalah jika tidak mengatakannya.
“tidak tidak, “apa yang sedang kau lakukan?”
hanya itu saja.”
Faktanya, bahkan tidak ada obrolan seperti
itu. Tapi aku yakin itu yang akan Kitaoka katakan sebelumnya.
“Jadi begitu…”
Aku hanya sebentar berada di sekolah, tapi aku
masih melihat anak laki-laki disekitarku merasa bersemangat untuk menerima
coklat, dan para gadis mondar-mandir di kelas dengan bungkusan kecil di tangan
mereka.
Mungkin dia memberikannya ke seseorang. Aku
tidak di posisi untuk komplain atau marah tentang itu, lagipula aku sudah
menyerah dengannya dan tak ada hubunganya denganku, tapi, aku tetap merasa
sakit di dada.
Aku merasa mood ku turun sesaat, tapi aku
melupakannya dan tetap menjadi "pacar satu jam" Nakajo sekarang.
Ketika aku membawa topik tentang temannya yang
biasa, Eiko Tanaka, Nakajo dengan senang bilang, “Kami sudah kenal baik
semenjak awal sekolah.”
"Tapi aku gak tahu Iijima-senpai di club
yang sama dengan Tanaka-chan sampai baru-baru ini.
Yah, kurasa begitu,
pikirku. Klub Kyouchiken hanya bertemu seminggu sekali, aku dan Tanaka yang berbeda
dua tahun, jarang berhubungan. Jika ada, Tanaka seharusnya jarang
membicarakanku dengan teman-temannya.
“lalu, kapan kamu tahu?” Nakajo menjawab
dengan malu-malu
"Kayaknya pas festival budaya. Tanaka
bilang kek gini, "Sayang sekali kita gak bisa lihat dialog pasangan
suami-istri antara Iijima senpai dan Tamura-senpai" Jadi aku bertanya pada
Tanaka-can dan mendengarnya menceritakan itu.
Suami-istri,
aku hamper menyerukan kata-kata itu.
“… Aku, tidak dalam hubungan seperti itu
dengan Tamura.”
Apa Tanaka melihat kami seperti itu? Memang
benar aku berteman baik dengan Tamura, tapi bukan seperti itu, lagipula kami
tidak pernah punya percakapan ke arah yang kek gitu.
Nakajo tersenyum ringan dan tertawa
“Aku tahu. Saito-san juga, kalian bertiga
berasal dari SMP yang sama. Aku iri.”
…. Apa Tanaka bilang kek gitu padamu juga?
Mengejutkannya, gadis itu juga banyak bicara.
Memikirkan wajah Tanaka yang kecil dan pemalu, aku bertanya-tanya apa dia
biasanya mengenakan mantel kucing di depanku (?)
Nakajo yang duduk di sebelahku, tak pernah
mengalihkan perhatiannya dari ku dan tersenyum germbira sepanjang waktu.
"Rasanya menyenangkan berbicara dengan Iijima-senpai," katanya.
Aku merasa malu dan gugup mendengarnya, ketika
kami melewati stasiun sebelum tempat aku turun, aku bertanya kepadanya.
“Apanya yang bagus tentangku?”
Nakajo menjawab dengan cepat.
“Wajah mu, kepribadianmu, semuanya.”
Wajahku... itu "biasa" saja dan kau
dapat menemukannya dimanapun, dan kepribadianku ku gelap dan lemah, aku sering
jatuh dan membenci diriku sendiri.
Tidak peduli dilihat darimanapun, itu bukan
sesuatu yang bisa dimasukkan. Saat aku tak tahu bagaimana cara menghadapi
pujian yang berlebihan, Nakajo menambahkan dengan rona merah di wajahnya.
"Tanaka-chan menunjukkan foto saat
pembukaan festival budaya. Wajahmu tanpa memakai apapun terlihat keren
juga."
Pembukaan festival budaya, maksudku, aku
mengenakan lensa kontak karena memakai kostum chiiba, dan kacamata yang bukan
biasanya.
Aku gak tahu kenapa banyak orang yang
mengambil fotoku saat itu, tapi aku tidak menyangka itu akan tersebar luas.
“Mungkin… itu hanya imajinasimu saja.”
Mungkin saja kebetulan difoto dari posisi yang
bagus.
Kepada Yasuki, yang berbicara dengan
kerendahan hati, Nakajo menggelengkan kepalanya, mengatakan itu tak mungkin.
“Itu bukan imajinasiku. “Ini simpanan permanen”
bahkan Tanaka-chan bilang begitu!”
“eikyÅ« (permanen)… ya.”
“Orang-orang yang menyebarkan rumor pasti iri
dengan Iijima-senpai karena kamu tampan.”
“…Kamu, pandai berbicara ya.”
Aku merasa sangat malu dengan seberapa tinggi
dia menilai ku sampai-sampai wajahku memanas.
Aku tak tahu gadis polos sepertinya bisa
mengatakan banyak hal. Aku menyadari sekali lagi bahwa cinta benar-benar
membuat orang menjadi gila, itu membuatku merasa sedikit takut.
Ketika aku turun dari kereta, cuaca mendung
tapi tampak sedikit lebih hangat daripada suhu baru-baru ini, mungkin karena
angin lebih sedikit.
"Aa, disini. Ini adalah toko kue bernama
Moazart, rasanya cukup enak."
"Oh, Benarkah?"
Saat kami mengobrol, aku berjalan bersamanya
melewati jalan-jalan berbukit, sebentar lagi akan berpisah dengannya. Itu hanya
beberapa puluh menit, tapi senang bisa berbicara dengannya. Dia lugas dan
positif, dan aku dapat mengingat perasaan jujur yang telah aku lupakan untuk
sementara waktu.
Melihat jam, aku menyadari masih ada sisa
waktu sebelum berakhir, kami berhenti di sebuah taman dengan regulating pond
yang besar dalam perjalanan pulang. Mungkin karena sekarang hari kerja di musim
dingin, ada beberapa orang disekitar dan tempatnya sepi.
Duduk di tangga alun-alun berbentuk lesung,
Yasuki menatap Nakajo.
“Jadi, cobalah bernyanyi sesuai janjimu.”
"Aku baru mempelajarinya baru-baru
ini," katanya dan menyanyikan lagu bahasa inggris. Itu adalah lagu yang
dibuat lama bahkan sebelum Yasuki dan teman-temannya lahir.
Isinya sepertinya tentang cinta tragis pemuda
Irlandia yang terkoyak oleh konflik agama. Ketika dia menyanyikan bagian
'Whethe You're Here or Not," aku merasa sedih yang mendalam di hati, pada
saat yang sama, rasa nostalgia, meskipun aku belum pernah mendengar lagi ini
sebelumnya.
“Sugoi, itu sangat bagus, aku terkesan”
“Benarkah…?”
“Aku ingin mendengarkan satu lagu lagi,”
Kemudian dia dengan malu-malu menyanyikan
suara yang indah untukku. Kali ini itu lagu pop riang yang ku tahu.
Kami berbicara sebentar, tapi hawa dingin
mulai menyerang tubuh saat aku tak berjalan.
Sudah waktunya untuk pergi, pikirku sambil
berdiri. Nakajo terlihat sedikit sedih, tapi dengan cepat menaruh senyuman yang
kuat.
Kami berhenti di depan ruamh yang relatif
besar di kawasan perumahan. Sebuah sedan mengkilap diparkir di garasi,
pepohonan di halaman tampak terawat dengan baik. Dia pasti tumbuh di rumah ini
dengan penuh cinta dan perhatian.
"Terimakasih banyak atas waktumu yang
singkat ini!"
Nakajo menundukkan kepalanya. Apa ini
baik-baik saja dengan melakukan ini? Tapi aku memutuskan untuk menerima rasa
terimakasihnya dengan patuh.
Dia bertanya padaku, "Akhirnya, sekolah
mana yang akan kamu hadiri?" Aku memberitahukan nama universitas yang aku
tuju di semester pertama.
Kemudian, dia bergumam dengan sedih,
"Itu... itu sangat jauh," tapi ketika matanya bertemu denganku, dia bilang
dengan kuat, seolah-olah itu bukan masalah.
“Lakukan yang terbaik! Aku mendoakanmu.”
“Yaa, terimakasih.”
"Juga, tertawalah jika dua tahun kemudian
aku mengejarmu."
Kalau diterima, setidaknya butuh tiga tahun
untuk pergi ke tempat yang sama di kampus pada semester pertama.
Tapi aku tidak berani memberitahunya itu,
karena aku merasa tak pantas mengatakan hal seperti itu padahal aku belum lulus
ujian.
Tida tahun kemudian... aku bertanya-tanya
apakah sesuatu akan berubah dariku nantinya.
Aku tak yakin tentang itu sekarang. Aku hanya
bilang, "Aku menantikannya," dan tersenyum, berharap segalanya akan
lebih positif daripada sebelumnya.
mantap min
BalasHapussemangat tl nya
Pingin puhya kouhai kek gini juga :")
BalasHapusmuka boleh otaku,tapi soal yg dsuka boleh diadu
BalasHapusTerombang-ambing
BalasHapus