Koi Nante vol 2 Chapter 3 Part 4

4 komentar

 

Berjalan dari sekolah ke stasiun memakan waktu sekitar lima belas menit. Selama waktu itu, aku berjalan pulang berdampingan dengan gadis yang dua tahun lebih muda dariku, mengobrol tentang hal-hal sepele.

Ketika aku bertanya di klub mana dia berada, dia menjawab, "Aku di klub paduan suara."

“Begitu. Paduan suara ya, itu bagus.”

Ucap Yasuki, Nakajo memiringkan kepalanya sedikit penasaran.

“Benarkah?”

"Ya, aku berpikir betapa bagusnya suaramu."

Suaranya tinggi dan jernih, namun sedikit gemetar dan naik turun. Saat dia mengakui perasaannya kepadaku beberapa waktu yang lalu, kata-katanya adakan bergema di hatiku dan aku mungkin tanpa sadar mengatakan ya jika aku tidak berhati-hati. Jika dia bukan di paduan suara, akan cocok di teater, menggunakan semua kualitas suarannya.

Tanpa disadari, Pipi Nakajo memerah, aku menggodanya.

“Coba bernyanyi dong”

Nakajo menurunkan pandangannya karena malu, tapi berbicara dengan nada yang jelas.

“Mungkin nanti setelah turun dari kereta.”

Sepertinya belum bisa mendengar suara bernyanyinya sekarang. Aku mendengar suara tawa kecil yang menyenangkan di telinga, aku akan mendengarnya bernyanyi ketika turun dari kereta.

Kami tiba di stasiun, terkadang mengobrol dengan canggung, dan ada sedikit waktu sebelum kereta berangkat.

Uang di kartu komuter ku sepertinya hampir habis, aku bilang ke Nakajo "Aku akan mengisi ulang," kemudian dia bilang, "Oke, aku akan ke kamar kecil dulu," dan pergi ke gedung stasiun.

Berdiri di mesin tikert di sebelah gerbang tiket, aku mengeluarkan dompet dari saku, memasukkan kartu dan uang cash sekitar 3000 yen, dan menyentuh layar.

Setelah selesai mengisi ulang, aku memasukkan dompet ke saku dan bersandar pada pilar di depang gerbang tiket menunggu Nakajo.

Dan lalu, aku sadar bahwa aku tak membawa kantong kertas yang telah tergantung di tanganku beberapa saat yang lalu.

Oh tidak, itu adalah coklat yang sudah susah payah dibuat Nakajo. Aku marah pada diriku sendiri karena begitu ceroboh.

Aku pasti meninggalkannya di tangga di depan mesin tiket ketika aku mengisi ulang. Rasanya aneh, aku juga agak gugup rupanya. Memikirkan itu, aku balik lagi kesana.

"Eh..."

Aku melihat sesuatu yang tak terduga, pandanganku, aku sangat terkejut sehingga tak sadar bergumam.

Seoarang siswa prempuan yang akrab dari sekolah yang sama berdiri di tempat yang sama seperti ku sebelumnya.

Wajah gadis itu, yang terawat bahkan bisa dilihat dari kejauhan, terlihat suram ketika dia menunduk kebawah.

Dia mengenakan syal yang melilit rambut panjang berwarna coklat tua mengkilat, dan rok pendeknya memperlihatkan kakinya yang terlanjang, memberikan kesan yang berbeda meskipun dia mengenakan seragam yang sama dengan Nakajo.

(Kenapa kau disini…)

Kitaoka Ema perlahan berbalik dan menatapku. Saat itu, hatiku melonjak sangat kuat di hari yang memusingkan.

Aku bertanya-tanya apa dia belum lama pergi. Karena Kitaoka berjalan kaki ke sekolah, dia biasanya tidak menggunakan stasiun. Apa dia ingin pergi ke suatu tempat dengan kereta api?

Kupikir mata kami bertemu sejenak, tapi aku segera membuang muka dan pura-pura tidak menyadari. Bukannya aku akan berbicara dengannya hanya karena kebetulan melihat, aku juga tak ada urusan dengannya.

Tapi, Kitaoka memegang kantong kertas yang aku cari ditangannya, melihat kebawah. Mungkin dia akan mengantarnya ke suatu tempat, berkata bahwa, "Aku menemukan barang yang tertinggal"

Ini buruk, aku harus mendapatkannya kembali sebelum Nakajo datang. Yasuki berjalan menuju mesin tiket dan memanggil Kitaoka dengan enggan.

"Maaf, itu punyaku..."

Kitaoka mendongak seolah-olah dihantam peluru. Ekspresi di wajahnya tergambar canggung, seolah-olah dia baru saja bertemu dengan orang yang tak ingin dia lihat.

Seolah-olah seperti...

(Apa aku yang tak ingin kau lihat?...)

Aku tahu itu tak bisa dihindari, tapi aku masih sedih mengetahui bahwa dia berpikir begitu. Aku adalah korban yang lolos dari perangkapnya di saat-saat terakhir. Aku hanya bisa menmbayangkan betapa bangga dirinya ketika tidak tahu cara bersikap di depan orang itu.

Kitaoka mengalihkan pandangannya seolah ingin melarikan diri dan mengulurkan kantong kertas di tangannya kepada ku.

“Ah… um… kau meninggalkan ini.”

Aku memberikan balasan yang ambigu, baik "ya" atau "oh" dan mengambilnya kembali dari tangannya. Aku melihat kedalam dan memeriksa, bungkus kertas putih yang Nakajo berikan kepadaku masih ada dan utuh di dalamnya.

... Mungkinkah Kitaoka tahu apa yang ada di dalam? Kantong kertanya sedikit terbuka diatas, tidak heran jika dia melihat isinya tanpa mengintip kedalam.

Tidak ada yang salah jika dia tahu kan? Bukannya dia punya hak untuk mengatakan apapun tentang ku sekarang, tidak peduli siapa yang suka padaku.

Tapi—

Sekilas melihat wajah Kitaoka. Ketika mata kami bertemu, dia bergumam sedikit dengan ekspresi lembut.

“Darimana…”

Namun, suaranya terhenti oleh suara indah terdengar dari samping.

“Maaf membuatmu menunggu!”

“Ah…”

Saat aku menoleh ke asal suara, ada Nakajo disana, napasnya tersendak di tenggorokan, mengintip dari kerumunan.

Nakajo berdiri di samping Yasuki, memeriksa jam tangan cantik dan halus di lengannya, lalu berkata dengan nada yang menyenangkan.

".... Keretanya di menit terakhir. Sebaiknya kita segera berangkat."

Nakajo mendesak ku, menatap dan meraih lengan seragam ku. Dia sepertinya tak melihat Kitaoka yang berada di balik orang atau pilar.

“Ah… un…”

"kalau begitu" aku melihat Nakajo sepertinya menyadari Kitaoka, kemudian dia membungkuk ramah padanya dan tersenyum.

Saat Nakajo menarikku, aku berjalan melewarti gerbang tiket ke paron tempat kereta tiba.

Didorong oleh momentum itu, aku tak sempat melihat kebelakang.

Seperti yang dikatakan Nakajo, ketika kami sampai di peron, kereta meluncur cepat tanpa menunggu lagi.

Ada sedikit penumpang di kereta, mungkin karena gerbongnya panjang, kami duduk berdampingan di kursi penumpang.

Pemanas yang berhembus dikaki samar-samar menghilangkan dingin di tubuh, aku melihat ujung sepatu kets ku, bertanya-tanya.

Mengapa Kitaoka ada di stasiun?

Seharusnya homeroom selesai tiga jam yang lalu. Rasanya aneh. Aneh rasanya jika dia menunggu selama itu, bahkan jika dia berkumpul dengan teman-temannya di depan stasiun sesudahnya. Jika itu masalahnya, dia seharusnya bersama seseorang disana.

Aku juga mengira dia akan naik kereta. Namun, Kitaoka tampaknya tidak mengikuti kami saat kami bergegas, mungkin dia berada di kereta yang berbeda. Dengan kata lain, dia tidak berencana untuk pergi ke prep-school di tokyo.

Area diluar tokyo lebih terpencil dari yang disini, biasanya aku tidak pergi kesana kecuali ada urusan khusus. Jika itu masalahnya, dia pasti berencana untuk menemui seseorang. Tapi apa yang dia lakukan di musim ujian yang begitu sibuk...

“…. orang imut yang tadi”

“Eh?”

Guncangan tak terduga dari Nakajo, Yasuki tak sengaja mengeluarkan suara bodoh.

“Kelas tiga kan? Aku sering melihatnya disekitar sekolah.”

Itu adalah Kitaoka.

Aku bertanya-tanya apa dia melihat isi pikiranku, aku melihatnya, tapi wajah Nakajo tampak riang, dan sepertinya tidak ada makna mendalam dari apa yang dia katakan.

Yeah, gadis itu menonjol, jadi ta heran orang-orang di sekolah mengingatnya. Aku menekan kecanggungan dan bergumam.

“aah… kami di kelas yang sama.”

Aku tidak mengatakan lebih dari itu. Alasan kami berbicara adalah karena aku "meninggalkan barang yang diberikan kepadaku". Akan lebih baik jika Nakajo tidak mengetahui itu.

Kemudian Nakajo bertanya sesuatu yang tak terduga, tanpa kehilangan senyuman di wajahnya.

“Apak kamu mendapatkan coklat?”

“Hah?”

Aku hampir dengan lantang berteriak. Gak mungkin aku mendapatkan coklat, walaupun itu untuk suatu alasan.

Yasuki hanya tertawa dan menyangkal itu. Bagaimanapun, dia merasa bermasalah jika tidak mengatakannya.

“tidak tidak, “apa yang sedang kau lakukan?” hanya itu saja.”

Faktanya, bahkan tidak ada obrolan seperti itu. Tapi aku yakin itu yang akan Kitaoka katakan sebelumnya.

“Jadi begitu…”

Aku hanya sebentar berada di sekolah, tapi aku masih melihat anak laki-laki disekitarku merasa bersemangat untuk menerima coklat, dan para gadis mondar-mandir di kelas dengan bungkusan kecil di tangan mereka.

Mungkin dia memberikannya ke seseorang. Aku tidak di posisi untuk komplain atau marah tentang itu, lagipula aku sudah menyerah dengannya dan tak ada hubunganya denganku, tapi, aku tetap merasa sakit di dada.

Aku merasa mood ku turun sesaat, tapi aku melupakannya dan tetap menjadi "pacar satu jam" Nakajo sekarang.

Ketika aku membawa topik tentang temannya yang biasa, Eiko Tanaka, Nakajo dengan senang bilang, “Kami sudah kenal baik semenjak awal sekolah.”

"Tapi aku gak tahu Iijima-senpai di club yang sama dengan Tanaka-chan sampai baru-baru ini.

Yah, kurasa begitu, pikirku. Klub Kyouchiken hanya bertemu seminggu sekali, aku dan Tanaka yang berbeda dua tahun, jarang berhubungan. Jika ada, Tanaka seharusnya jarang membicarakanku dengan teman-temannya.

“lalu, kapan kamu tahu?” Nakajo menjawab dengan malu-malu

"Kayaknya pas festival budaya. Tanaka bilang kek gini, "Sayang sekali kita gak bisa lihat dialog pasangan suami-istri antara Iijima senpai dan Tamura-senpai" Jadi aku bertanya pada Tanaka-can dan mendengarnya menceritakan itu.

Suami-istri, aku hamper menyerukan kata-kata itu.

“… Aku, tidak dalam hubungan seperti itu dengan Tamura.”

Apa Tanaka melihat kami seperti itu? Memang benar aku berteman baik dengan Tamura, tapi bukan seperti itu, lagipula kami tidak pernah punya percakapan ke arah yang kek gitu.

Nakajo tersenyum ringan dan tertawa

“Aku tahu. Saito-san juga, kalian bertiga berasal dari SMP yang sama. Aku iri.”

…. Apa Tanaka bilang kek gitu padamu juga?

Mengejutkannya, gadis itu juga banyak bicara. Memikirkan wajah Tanaka yang kecil dan pemalu, aku bertanya-tanya apa dia biasanya mengenakan mantel kucing di depanku (?)

Nakajo yang duduk di sebelahku, tak pernah mengalihkan perhatiannya dari ku dan tersenyum germbira sepanjang waktu. "Rasanya menyenangkan berbicara dengan Iijima-senpai," katanya.

Aku merasa malu dan gugup mendengarnya, ketika kami melewati stasiun sebelum tempat aku turun, aku bertanya kepadanya.

“Apanya yang bagus tentangku?”

Nakajo menjawab dengan cepat.

“Wajah mu, kepribadianmu, semuanya.”

Wajahku... itu "biasa" saja dan kau dapat menemukannya dimanapun, dan kepribadianku ku gelap dan lemah, aku sering jatuh dan membenci diriku sendiri.

Tidak peduli dilihat darimanapun, itu bukan sesuatu yang bisa dimasukkan. Saat aku tak tahu bagaimana cara menghadapi pujian yang berlebihan, Nakajo menambahkan dengan rona merah di wajahnya.

"Tanaka-chan menunjukkan foto saat pembukaan festival budaya. Wajahmu tanpa memakai apapun terlihat keren juga."

Pembukaan festival budaya, maksudku, aku mengenakan lensa kontak karena memakai kostum chiiba, dan kacamata yang bukan biasanya.

Aku gak tahu kenapa banyak orang yang mengambil fotoku saat itu, tapi aku tidak menyangka itu akan tersebar luas.

“Mungkin… itu hanya imajinasimu saja.”

Mungkin saja kebetulan difoto dari posisi yang bagus.

Kepada Yasuki, yang berbicara dengan kerendahan hati, Nakajo menggelengkan kepalanya, mengatakan itu tak mungkin.

“Itu bukan imajinasiku. “Ini simpanan permanen” bahkan Tanaka-chan bilang begitu!”

eikyÅ« (permanen)… ya.”

“Orang-orang yang menyebarkan rumor pasti iri dengan Iijima-senpai karena kamu tampan.”

“…Kamu, pandai berbicara ya.”

Aku merasa sangat malu dengan seberapa tinggi dia menilai ku sampai-sampai wajahku memanas.

Aku tak tahu gadis polos sepertinya bisa mengatakan banyak hal. Aku menyadari sekali lagi bahwa cinta benar-benar membuat orang menjadi gila, itu membuatku merasa sedikit takut.

Ketika aku turun dari kereta, cuaca mendung tapi tampak sedikit lebih hangat daripada suhu baru-baru ini, mungkin karena angin lebih sedikit.

"Aa, disini. Ini adalah toko kue bernama Moazart, rasanya cukup enak."

"Oh, Benarkah?"

Saat kami mengobrol, aku berjalan bersamanya melewati jalan-jalan berbukit, sebentar lagi akan berpisah dengannya. Itu hanya beberapa puluh menit, tapi senang bisa berbicara dengannya. Dia lugas dan positif, dan aku dapat mengingat perasaan jujur yang telah aku lupakan untuk sementara waktu.

Melihat jam, aku menyadari masih ada sisa waktu sebelum berakhir, kami berhenti di sebuah taman dengan regulating pond yang besar dalam perjalanan pulang. Mungkin karena sekarang hari kerja di musim dingin, ada beberapa orang disekitar dan tempatnya sepi.

Duduk di tangga alun-alun berbentuk lesung, Yasuki menatap Nakajo.

“Jadi, cobalah bernyanyi sesuai janjimu.”

"Aku baru mempelajarinya baru-baru ini," katanya dan menyanyikan lagu bahasa inggris. Itu adalah lagu yang dibuat lama bahkan sebelum Yasuki dan teman-temannya lahir.

Isinya sepertinya tentang cinta tragis pemuda Irlandia yang terkoyak oleh konflik agama. Ketika dia menyanyikan bagian 'Whethe You're Here or Not," aku merasa sedih yang mendalam di hati, pada saat yang sama, rasa nostalgia, meskipun aku belum pernah mendengar lagi ini sebelumnya.

“Sugoi, itu sangat bagus, aku terkesan”

“Benarkah…?”

“Aku ingin mendengarkan satu lagu lagi,”

Kemudian dia dengan malu-malu menyanyikan suara yang indah untukku. Kali ini itu lagu pop riang yang ku tahu.

Kami berbicara sebentar, tapi hawa dingin mulai menyerang tubuh saat aku tak berjalan.

Sudah waktunya untuk pergi, pikirku sambil berdiri. Nakajo terlihat sedikit sedih, tapi dengan cepat menaruh senyuman yang kuat.

Kami berhenti di depan ruamh yang relatif besar di kawasan perumahan. Sebuah sedan mengkilap diparkir di garasi, pepohonan di halaman tampak terawat dengan baik. Dia pasti tumbuh di rumah ini dengan penuh cinta dan perhatian.

"Terimakasih banyak atas waktumu yang singkat ini!"

Nakajo menundukkan kepalanya. Apa ini baik-baik saja dengan melakukan ini? Tapi aku memutuskan untuk menerima rasa terimakasihnya dengan patuh.

Dia bertanya padaku, "Akhirnya, sekolah mana yang akan kamu hadiri?" Aku memberitahukan nama universitas yang aku tuju di semester pertama.

Kemudian, dia bergumam dengan sedih, "Itu... itu sangat jauh," tapi ketika matanya bertemu denganku, dia bilang dengan kuat, seolah-olah itu bukan masalah.

“Lakukan yang terbaik! Aku mendoakanmu.”

“Yaa, terimakasih.”

"Juga, tertawalah jika dua tahun kemudian aku mengejarmu."

Kalau diterima, setidaknya butuh tiga tahun untuk pergi ke tempat yang sama di kampus pada semester pertama.

Tapi aku tidak berani memberitahunya itu, karena aku merasa tak pantas mengatakan hal seperti itu padahal aku belum lulus ujian.

Tida tahun kemudian... aku bertanya-tanya apakah sesuatu akan berubah dariku nantinya.

Aku tak yakin tentang itu sekarang. Aku hanya bilang, "Aku menantikannya," dan tersenyum, berharap segalanya akan lebih positif daripada sebelumnya.

Sebelumnya  Daftar isi  Selanjutnya




Related Posts

There is no other posts in this category.

4 komentar

Posting Komentar