Aku mengambil kelas di prep school di pagi hari dan di sore hari aku belajar di ruang belajar mandiri sampai hari mulai gelap, dan aku mengulanginya
setiap hari. Di rumah aku tidak bisa
tidak memikirkan hal-hal yang tidak berhubungan, tetapi suasana di sekitar
ruang belajar mandiri yang membuat ku merasa harus
belajar memberi ku motivasi.
Pada hari yang juga
menjadi Agustus, Yasuki menghabiskan sebagian besar hari di prep school dan pulang setelah itu di malam hari. Setelah
itu, dia mandi dan mulai memoles nasi di dapur.
Sejujurnya, aku bertanya-tanya mengapa seorang siswa yang belajar
untuk ujian harus melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun, kebijakan orang
tua
ku adalah 'Jika dia tidak disuruh
melakukan pekerjaan rumah tangga, dia akan menjadi anak yang tidak bisa
melakukan apa pun di masa depan,' yang memang bisa aku setujui. Itu
sebabnya setiap hari aku tidak pernah
lupa untuk menyuci beras dan melipat cucian,
serta menyapu ruang klub.
Ketika aku menggosok nasi dengan telapak tangan ku, sebuah 'pin pon' terdengar dari pintu masuk. Sepertinya ada seseorang di
sini di malam hari.
Ibu ku, yang tampaknya berada di ruang tamu, menjawab
dengan "Aku datang." Setelah
suara pintu terbuka, "Eh?" ibuku terdengar seperti
terkejut
Siapa?
Suara orang lain itu samar, jadi apa yang ia katakan tidak sampai pada ku. Siapapun itu,
tidak apa-apa. Ibu ku adalah wanita
normal, tapi dia cukup sadar untuk tidak tertipu pada scammers atau penipu. Jika orang lain adalah orang seperti itu,
setelah cukup ditolak mereka harus menyerah dan pergi. Sambil memikirkan
itu, aku mengganti air beras.
Sambil mengencangkan
keran yang berderit, aku mendengar
beberapa kata dari pintu masuk.
“Yasutaka… Oh, oh, maksudmu Yasuki”
Entah bagaimana,
sepertinya orang yang dicari adalah aku. Aku
tidak bisa memikirkan siapa pun itu, tetapi aku dengan cepat mencuci beras dari tangan ku.
“Yasukiii, teman
sekolah ada di sini”
Saat aku sedang mengukur air, ibu ku memanggil dengan suara keras. Aku sudah tahu itu. Kami tinggal di sebuah rumah, tapi tidak
besar; bahkan jika dia tidak berteriak aku tetap bisa
mendengar.
Aku memasukkan nasi dan
air ke dalam penanak nasi dan mengaturnya, dan pergi ke pintu masuk untuk
bertukar dengan ibu. Ketika aku melihat wajah
orang di sisi lain dari pintu yang setengah terbuka, aku cukup terkejut untuk membuat jantungku
keluar kapan saja.
“Kitaoka…”
Saat aku menyebut namanya dengan suara rendah, Kitaoka Ema,
tanpa tersenyum, menyapa ku dengan ringan.
Kitaoka
mengenakan t-shirt tipis LINE, celana pendek denim, dan sandal thong
dalam pakaian kasual. Seperti ini juga di kamp pelatihan, tetapi ketika
dia tidak mengenakan seragamnya, dia benar-benar bugar dan feminin; dia
terlihat sangat dewasa.
Kitaoka dengan canggung
meringis saat aku diam. Itu buruk, aku hanya menatapnya.
"Eh, ini"
Melihat ke bawah, dia
mengulurkan tas belanja kain di tangan kanannya pada ku.
"O-oke"
Di dalam tas yang aku terima adalah sepatu kets yang aku pinjamkan padanya. Tidak tahu bagaimana
menanggapi tatapan ku, Kitaoka menambahkan
dengan suara kecil:
“Aku mencucinya, jadi
kamu tidak perlu khawatir tentang itu”
...aku tidak terlalu khawatir tentang itu. Akan baik-baik
saja untuk mengembalikan apa adanya, sebenarnya.
“Kapan saja akan
baik-baik saja. Aku punya sepatu lain.”
Jika aku ingat benar, rumah Kitaoka seharusnya berada di kota berikutnya yang dekat
dengan sekolah. Itu dipisahkan dari sini oleh 4 stasiun. Untuk datang
jauh-jauh ke sini untuk hal semacam ini, saat aku memikirkan itu, Kitaoka membuat mengkernyitkan bibirnya
“Tapi itu akan menjadi
masalah di rumah”
Aku merasa seperti apa yang ku
katakan dibantah. Sepertinya dari situasinya bahwa datang ke sini untuk mengembalikannya
bukanlah hal yang merepotkan.
Namun, fakta bahwa Kitaoka datang dari jauh untuk ini tidak
berubah. Mengatakan "Maaf telah merepotkanmu" dengan ketidakpedulian yang terdengar seperti
sarkasme. Oh, dia juga mengulurkan kantong kertas kecil.
“Itu, dan ini juga”
Ternyata kantong kertas
ini juga dibawakan untuk ku. Apakah
tas dari toko umum di suatu tempat? Logo dan desain keduanya imut.
“Eh, ini untukku?”
Kitaoka diam-diam
mengangguk. Di dalamnya ada kue-kue bermotif kotak-kotak. Apakah ini baru dipanggang? Bau mentega samar tercium.
“Kalau yang seperti
ini, mudah untuk dibuat sendiri. Aku juga punya sisa
bahan. Dan juga…"
Dia dengan cepat
mengatakan sesuatu sebagai alasan dan, "Aku bersyukur, tapi ini bukan sesuatu yang hebat" ditambahkan di
akhir.
Tetapi menerima kue buatan tangan dari seorang cewek adalah pengalaman baru bagi ku. Sebaliknya, aku berpikir bahwa meskipun itu dari sisa bahan, aku benar-benar berterima kasih.
"Ah
tidak. Terima kasih"
Aku menjawab singkat.
Sementara aku berpura-pura tenang, karena aku cukup bahagia di dalam, Kitaoka mundur selangkah dan berkata, dengan suara kecil:
“…Waktu itu di kamp
pelatihan, kamu benar-benar menyelamatkanku.”
“Ah… Yah, aku hanya meminjamkanmu sepatuku.”
Aku tidak mendapat kata 'Terima Kasih', tapi entah bagaimana perasaan itu
tersampaikan. Terkadang dia bisa bertingkah imut juga, ya? aku pikir.
Dengan punggung yang berbalik sambil bergumam 'baiklah',
aku buru-buru memanggilnya.
“Kitaoka”
"Apa?"
Dia menoleh, dengan
rambutnya bergoyang dalam cahaya yang memudar. Tentunya karena Kitaoka yang ini berbeda dari yang biasanya
sehingga aku juga merasa
aneh. ‘ini bukan seperti diriku sendiri’,
pikir
ku sambil mulut ku terbuka tanpa sadar.
"Jalan apa yang kamu ambil untuk sampai ke sini?"
“Eh… aku pergi ke AEON dari stasiun dan mengikuti jalan
raya…”
(semacam pusat perbelanjaan, stasiun di jepang biasanya berpusat di mall dan tempat rame)
“…ada jalan
pintas. Saya juga punya hal yang harus dilakukan di stasiun, jadi tunggu
sebentar ”
Hari semakin gelap
sehingga mengambil rute yang berbeda akan menjadi buruk.
Tetapi mengatakan
dengan lugas 'Aku akan mengantarmu ke sana' mungkin akan membuat ku ditolak. Mengikuti prediksi itu, Kitaoka
mengangguk dengan wajah ambigu.
Aku mengambil dompet dan
kunci sepeda, memakai sepatu di pintu masuk, dan pergi. Kitaoka melihat ke
semak-semak sambil menunggu ku di luar gerbang.
Sementara gelapnya hari
mewarnai daerah pemukiman ultramarine, aku mengayuh sepeda menuju stasiun.
Berada di belakangku adalah seorang
gadis yang
cantik. Aku tidak tahu apakah itu sampo atau parfumnya, tapi
bagaimanapun juga mencium aroma manis dari dekat dengan paksa mengingatkan ku akan keberadaannya setiap detik.
Namun, ada baiknya aku berhasil mengantarnya kembali, tetapi apa yang kami bicarakan di jalan. Tidak ada sedikit pun topik bagus yang terlintas dalam pikiran karena
ketegangan dan perasaan berdebar.
Akhirnya, karena tidak
tahan dengan keheningan, Kitaoka-lah yang berbicara lebih dulu.
"Kamu tahu…"
"Apa?"
"Kamu membeli
kacamata baru, kan?"
“Eh?”
Aku bingung. Sudah
dua tahun sejak terakhir kali aku mendapatkan
kacamata baru, aku sudah menggunakan
kacamata ini cukup lama sekarang.
Mengapa dia mengatakan itu aku bertanya-tanya, mungkin dia salah mengira ku
dengan cowok
berkacamata lainnya? Aku berpikir
sedikit, tapi menyentuh bingkai kacamata ku
mengingatkan ku pada alasan yang
masuk akal.
“Ah, jadi
begitu. Di sekolah aku menggunakan
yang berbeda. ”
"Hah? Maksud mu
apa?"
“Aku selalu menggunakan yang ini di rumah.”
Kacamata berbingkai
tebal berwarna biru tua. Aku membelinya di tahun
ketiga sekolah menengah sebagai pengganti kacamatanya yang rusak, tapi sekarang
kacamata ini dikhususkkan untuk dirumah.
Atas penjelasanku, dia bertanya:
"Kenapa kamu tidak
menggunakan yang ini di sekolah?"
Situasinya sama seperti
dalam perjalanan kembali dari toko serba ada. Biasanya Kitaoka bersikap
tegas, tapi saat satu lawan satu tidak ada sikap langsung. Melihat itu, aku merasa lebih
lancar saat berbicara.
“Resolusinya (presepsi) agak lemah untuk ini. Mengukur cairan akan baik-baik saja, tapi sulit mencoba melihat papan tulis di kelas dan menjadi masalah.”
Aku membelinya ketika aku masih di SMP, tetapi belajar
untuk ujian dan membaca terlalu banyak buku menyebabkan penglihatan ku menurun. Ketika aku memasuki SMA, aku mendapatkan sepasang baru untuk digunakan sebagai yang baru di sekolah. Itu
sebabnya teman dari sekolah lama tidak akrab dengan ku yang memakai kacamata ini.
Kitaoka melihat wajah ku dari samping, dan menyuarakan ketidakpuasannya.
“Eh~, yang ini jauh lebih
baik”
"Betulkah?"
“Ya, yang biasa kau
tunjukkan bahwa kau adalah seorang otaku”
Aku terkejut dengan
kejujuran yang dia katakan dan menurunkan bahuku. Tentu
saja, kacamata sekolah ku memiliki
bingkai logam tipis dan lensa besar sehingga penglihatan ku tidak terhalang sama sekali. Desainnya agak
tua, tapi aku bisa melihat lebih
baik berkat itu, jadi aku menyukainya…
“Sepertinya kamu salah
paham, tapi aku bukan otaku”
"Apakah
begitu?"
"Sayangnya. Mendengarkan
apa yang Katsuya katakan, aku tidak mengerti semua itu.”
'Ndak mungkin' sejak dia mengatakan itu, sepertinya dia mengira aku sebenarnya seorang otaku. Aku harus dengan tegas menyangkal itu. Jika aku harus berharapan dengan pembicaraan penggemar yang sama, aku akan
bermasalah.
Untuk ini, dia memiringkan kepalanya seolah-olah itu aneh.
“Lalu, kenapa kamu
bersama Saitou-kun?”
"'Mengapa kamu
bertanya…"
Saitou adalah nama
keluarga Katsuya.
Tapi, apakah kau perlu alasan untuk berteman, aku ingin menunjukkan ini.
“Hmm… Karena dia orang yang baik?”
Cewek mungkin merasa
penampilannya tidak begitu bagus, tapi dia mengatakan banyak hal
menarik. Tetap saja, tidak peduli apa yang dikatakan aku tidak marah dan hanya membiarkannya berlalu, dan ketika aku sakit dia mengunjungi ku untuk membawa catatan dari kelas. Sebagai teman, daripada 100 poin, aku akan
memberinya 120.
Atas jawabanku, Kitaoka
tertawa.
“Aku
mengerti~. Dia orang yang baik~”
Aku tidak tahu persis apa
yang lucu, tapi aku tidak bisa merasakan
sarkasme atau perasaan dibodohi. Aku ingin
meningkatkan pendapat cewek-cewek
tentang Katsuya, pikir ku, tapi keinginan itu
terlalu berlebihan kurasa.
Setelah tertawa
sebentar, Kitaoka mengganti topik, dengan “Itu mengingatkanku.”
“Yasuki adalah
bagaimana kamu menyebut namamu, ya. Sebelumnya aku mengacau dan bertanya 'Apakah Yasutaka-kun ada di
sini?'”
“Ah, ya, itu sering
terjadi.”
Aku mendengar percakapan
di pintu masuk sebelumnya sehingga aku tahu tentang
itu (meskipun sekarang aku memikirkannya, aku hanya bisa mendengar suara ibu).
Saat pertama kali
melihatnya, mereka pasti akan mengatakan 'Yasutaka' jadi meskipun Kitaoka
berada di kelas yang sama dengan ku selama lebih
dari setahun, mau bagaimana lagi kalau dia salah. Bisa dibilang dia hanya
sedikit tertarik pada ku.
“Kunyomi dan Onyomi aneh bukan?”
(Dua macam cara membaca huruf kanji yang berbeda, lebih jelasnya cek google)
“Walaupun kamu
bilang begitu … tolong beri tahu
orang tuaku. Aku tidak bisa berbuat
apa-apa untuk itu.”
Terus terang, aku hanya bisa menghela nafas dan mengangkat
bahu. Aku tahu itu adalah hal
yang kasar untuk dikatakan, tetapi aku merasa senang bahwa Kitaoka menaburkan gula terhadap apa yang ku katakan.
“Lalu bagaimana
denganmu?”
Aku tahu, tapi aku berpikir
untuk tetap bertanya.
“Itu Ema, kau tahu”
“…nama yang bagus dan
normal, ya.”
Membalasnya segera, aku memikirkan itu sekali lagi. Itu tidak terlalu
baru, tetapi juga bukan nama lama. Kemungkinan besar, jarang orang
salah membaca namanya.
Atas pujian ku, Kitaoka mengangguk sedikit, seolah itu adalah
kelebihannya.
"Ya. Itu
berasal dari aktris asing”
Aktris asing ...
mungkinkah-
“Aku memberitahumu sekarang,
bukan 'Imanuel's Wife'”
Dia membaca pikiranku dan aku diam. Nah, itu adalah peran daripada aktris.
“Yah, mirip dengan
Emmanuel, tapi… ini dari Emmanuelle Béart, seorang aktris Prancis. Bagaimanapun, dia menawan di masa lalu. ”
Bahkan jika Kitaoka bilang dia imut, aku tidak pernah mendengarnya. Berapa banyak
aktris yang ada?
“Hmm… aku tidak
mengenalnya”
"Aku tau. Aku tidak pernah
mendengar 'Ah, aku tahu siapa dia”
Aku meliriknya saat Kitaoka melebih-lebihkan.
Ketika Kitaoka mengatakan hal semacam itu, sepertinya dia memiliki
darah asing di dalam dirinya. 'Manusia itu sederhana' pikir ku.
Mendekati stasiun, kami berhenti sejenak di lampu merah. Kitaoka
mengeluarkan smartphone dari sakunya dan mulai mengetik sesuatu.
Aku (jelas) tidak bisa
melihat isinya, tapi mata ku tidak bisa
mengikuti kecepatan jari-jarinya.
"Apa?"
Ketika sepertinya dia terhenti,
dia melihat ke arah ku. Tampaknya dia
memperhatikan tatapan ku.
"Tidak ada, aku hanya
berpikir kau mengetik dengan
cepat."
Saat aku menjawab dengan jujur, lampu lalu lintas berubah
menjadi hijau.
Setelah menyeberang,
dia memasukkan telepon kembali ke sakunya dan bertanya.
“Itu benar, ketika aku
datang, aku melihat daftar nama yang aku dapatkan selama tahun pertama, tetapi
nomor rumah Iijima tidak tertulis di sana. Bagaimana dengan smartphonemu?”
Mendengar itu, Aku teringat
saat registrasi saat itu. Untuk
perlindungan informasi pribadi dan hal-hal, itu tidak sama dengan apa yang
digunakan oleh sekolah. Sekitar waktu ketika aku di tahun pertama, di awal tahun, mereka menyebutnya
'semua kelas sukarelawan,' dan mendistribusikan survei yang menanyakan alamat,
nomor telepon rumah, dan sekolah menengah.
Setelah itu, setiap
orang menerima buklet dengan jawaban atas survei setiap orang yang tercetak di
dalamnya. Aku tidak merasa
membutuhkannya dan membuangnya saat bersih-bersih tahun baru, tapi sepertinya
Kitaoka mengandalkan alamat di dalamnya untuk sampai ke rumah ku.
Untuk pertanyaannya, aku menjawab secara blak-blakan.
“Aku tidak punya
ponsel.”
“Eh? Beneran?"
Dia bereaksi seperti
yang aku pikirkan. Dapat dikatakan bahwa hampir semua
siswa SMA memiliki smartphone baru-baru ini, jadi
keterkejutannya dapat dimengerti.
“Kenapa kamu tidak
punya satu? Setiap orang memilikinya, kau tahu?”
Kitaoka membuka matanya
lebar-lebar, dan berbicara dengan volume yang keras. Sepertinya itu cukup mengejutkan.
Aku menghela nafas sebelum
menjawab.
“Ketika aku akan masuk sekolah menengah, orang tua ku bertanya apakah aku lebih suka mendapatkan smartphone atau komputer,
dan aku memilih komputer.”
“Tapi tidak nyaman jika
kamu tidak membawanya, bukan. Tidakkah semua orang disekitarmu menyuruhmu membeli
satu?”
"Yeah... Tapi aku mengurus itu dengan cukup baik”
Pada dasarnya karena aku pergi antara rumah, sekolah, dan sekolah
persiapannya setiap hari, aku tidak memiliki keperluan yang harus aku lakukan sesegera mungkin. “Jika tidak ada
stok, itu akan menjadi masalah” mungkin ada yang mengatakan, tetapi tidak
apa-apa asalkan kau tidak terlalu
lambat. Aku sudah hafal nomor
beberapa teman dekat orang tua ku, jadi aku
disuruh menelepon mereka jika terjadi sesuatu. Selain itu, belum lama ini
ketika orang menjalani hidup mereka tanpa smartphone, jadi kamu tidak akan mati jika tidak memilikinya.
(gua gak tahu mau tl ini kek gimana, harus bolak balik kamus.
Sementara versi raw yang w punya cuman review singkat dari kindle. Bagiannya
gak sampe sini)
Kitaoka menatap wajah ku dengan rasa ingin tahu, "Oh" dia berseru,
terdengar kagum dan terkejut.
“Komputer, ya… Apakah
kamu membutuhkannya? Apa yang kamu lakukan dengan itu?”
“'Apa', katamu… Yah,
kamu bisa membuat program dengannya. Smartphone palingan gak bisa buat kek
gitu.”
"Program? Kamu bisa
menulisnya?”
"Yah ... jika itu
yang sederhana"
Sekitar waktu di SMP,
perpustakaan memiliki buku Pengenalan Java. Aku mencoba menulis sebuah program di komputer sekolah
dan ternyata itu sangat menarik. Itu sebabnya ketika ditanya apakah aku menginginkan smartphone atau komputer, aku memilih komputer.
Kitaoka tertawa kering
dengan suara
yang dapat didengar jelas.
“Jadi kamu adalah otaku”
“…Aku tidak berpikir
begitu”
“Tidak, kamu sudah
cukup untuk
seorang otaku. Terimalah itu
dariku”
…apakah seperti
itu? Sepertinya tidak peduli apa, 'Iijima = otaku' adalah apa yang Kitaoka
akan katakan. Aku merasa definisi
Kitaoka tentang otaku dan definisi dari ku
pasti berbeda.
'Mungkin aku seharusnya tidak mengatakan itu,' aku sedikit
menyesal, tetapi aku tidak bisa menahan apa
yang sudah terjadi. Hampir menyerah, aku mengencangkan cengkeraman ku pada setang sepeda.
Kami akhirnya mendekati
bundaran di depan stasiun. Sudah hampir waktunya untuk berpisah dengan
Kitaoka.
“Tapi, tahukah kamu, bukankah akan
bagus untuk memiliki smartphone? Rencana
keluarga sangat bagus.”
Sekali lagi dengan
topik ini… Meskipun seharusnya tidak berpengaruh pada ku apakah aku memilikinya
atau tidak…
"Mungkinkah kau bekerja di perusahaan
ponsel?" Aku mulai sedikit lelah.
“Untuk mengatakan
demikian, kamu pasti sangat keras kepala tentang aku yang tidak memiliki satu,
ya. …Yah, aku akan mendapatkannya saat aku kuliah.”
"Hmm. Daripada
menjadi keras kepala, itu lebih seperti kamu hanya berpikir untuk membantah,
ya. ”
“Katakan apapun yang
kamu mau. Bukannya aku menarik sepertimu, jadi aku tidak benar-benar
membutuhkannya sekarang”
“Eh…”
Nada bicara Kitaoka
tiba-tiba berubah. Apakah aku
mengatakan sesuatu yang salah?
"Ada apa?"
Khawatir, aku menatap wajahnya ketika aku berbalik. Di bawah lampu jalan oranye, Kitaoka cemberut ke tanah dengan wajah canggung.
“Jangan khawatir
tentang itu”
Aku tidak melihat banyak,
tapi... aku tidak ingin terus mengkhawatirkan hal itu. Kami hanya di depan stasiun, jadi tidak perlu ada
percakapan lagi.
Kitaoka mengeluarkan
dompetnya dari tasnya dan berhenti di depan gerbang tiket.
"Yah, hati-hati
dalam perjalanan pulang."
"Baik. Sampai
ketemu lagi"
Dia tertawa kecil dan
melambaikan tangannya. Rambut kastanye dan kaki putihnya semakin
menjauh. Sosok gadis yang mundur itu menghilang saat dia menuruni tangga
ke peron dari gerbang tiket. Di tengah kerumunan orang dalam perjalanan
pulang, dia menggambar mata seperti cahaya. Aku tidak bisa berpaling.
...waktu itu terasa
sulit dipercaya. Teman sekelas perempuan yang seperti antitesis bagi ku tiba-tiba muncul di pintu rumahku seperti seorang teman lama dan berbicara dengan ku dalam perjalanan pulang.
Aku yakin bahwa saat kami bertemu lagi di sekolah, dia mungkin akan
bertingkah seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Aku mengerti itu, tapi aku tidak bisa menghentikan benih yang tumbuh di dadaku.


ga ada ilustrasiT_T
BalasHapus