Koi Nante Chapter 2

1 komentar

 

Instead of a 'Thank You'
Ketika kami kembali dari kamp pelatihan, liburan musim panas benar-benar dimulai. Pada dasarnya, mulai sekarang belajar untuk ujian akan sangat penting.

Aku mengambil kelas di prep school di pagi hari dan di sore hari aku belajar di ruang belajar mandiri sampai hari mulai gelap, dan aku mengulanginya setiap hari. Di rumah aku tidak bisa tidak memikirkan hal-hal yang tidak berhubungan, tetapi suasana di sekitar ruang belajar mandiri yang membuat ku merasa harus belajar memberi ku motivasi.

Pada hari yang juga menjadi Agustus, Yasuki menghabiskan sebagian besar hari di prep school dan pulang setelah itu di malam hari. Setelah itu, dia mandi dan mulai memoles nasi di dapur.

Sejujurnya, aku bertanya-tanya mengapa seorang siswa yang belajar untuk ujian harus melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun, kebijakan orang tua ku adalah 'Jika dia tidak disuruh melakukan pekerjaan rumah tangga, dia akan menjadi anak yang tidak bisa melakukan apa pun di masa depan,' yang memang bisa aku setujui. Itu sebabnya setiap hari aku tidak pernah lupa untuk menyuci beras dan melipat cucian, serta menyapu ruang klub.

Ketika aku menggosok nasi dengan telapak tangan ku, sebuah 'pin pon' terdengar dari pintu masuk. Sepertinya ada seseorang di sini di malam hari.

Ibu ku, yang tampaknya berada di ruang tamu, menjawab dengan "Aku datang." Setelah suara pintu terbuka, "Eh?" ibuku terdengar seperti terkejut

Siapa?

Suara orang lain itu samar, jadi apa yang ia katakan tidak sampai pada kuSiapapun itu, tidak apa-apa. Ibu ku adalah wanita normal, tapi dia cukup sadar untuk tidak tertipu pada scammers atau penipu. Jika orang lain adalah orang seperti itu, setelah cukup ditolak mereka harus menyerah dan pergi. Sambil memikirkan itu, aku mengganti air beras.

Sambil mengencangkan keran yang berderit, aku mendengar beberapa kata dari pintu masuk.

“Yasutaka… Oh, oh, maksudmu Yasuki”

Entah bagaimana, sepertinya orang yang dicari adalah aku. Aku tidak bisa memikirkan siapa pun itu, tetapi aku dengan cepat mencuci beras dari tangan ku.

“Yasukiii, teman sekolah ada di sini”

Saat aku sedang mengukur air, ibu ku memanggil dengan suara keras. Aku sudah tahu itu. Kami tinggal di sebuah rumah, tapi tidak besar; bahkan jika dia tidak berteriak aku tetap bisa mendengar.

Aku memasukkan nasi dan air ke dalam penanak nasi dan mengaturnya, dan pergi ke pintu masuk untuk bertukar dengan ibu. Ketika aku melihat wajah orang di sisi lain dari pintu yang setengah terbuka, aku cukup terkejut untuk membuat jantungku keluar kapan saja.

“Kitaoka…”

Saat aku menyebut namanya dengan suara rendah, Kitaoka Ema, tanpa tersenyum, menyapa ku dengan ringan.

Kitaoka mengenakan t-shirt tipis LINE, celana pendek denim, dan sandal thong dalam pakaian kasual. Seperti ini juga di kamp pelatihan, tetapi ketika dia tidak mengenakan seragamnya, dia benar-benar bugar dan feminin; dia terlihat sangat dewasa.

Kitaoka dengan canggung meringis saat aku diam. Itu buruk, aku hanya menatapnya.

"Eh, ini"

Melihat ke bawah, dia mengulurkan tas belanja kain di tangan kanannya pada ku.

"O-oke"

Di dalam tas yang aku terima adalah sepatu kets yang aku pinjamkan padanya. Tidak tahu bagaimana menanggapi tatapan ku, Kitaoka menambahkan dengan suara kecil:

“Aku mencucinya, jadi kamu tidak perlu khawatir tentang itu”

...aku tidak terlalu khawatir tentang itu. Akan baik-baik saja untuk mengembalikan apa adanya, sebenarnya.

“Kapan saja akan baik-baik saja. Aku punya sepatu lain.”

Jika aku ingat benar, rumah Kitaoka seharusnya berada di kota berikutnya yang dekat dengan sekolah. Itu dipisahkan dari sini oleh 4 stasiun. Untuk datang jauh-jauh ke sini untuk hal semacam ini, saat aku memikirkan itu, Kitaoka membuat mengkernyitkan bibirnya

“Tapi itu akan menjadi masalah di rumah”

Aku merasa seperti apa yang ku katakan dibantah. Sepertinya dari situasinya bahwa datang ke sini untuk mengembalikannya bukanlah hal yang merepotkan.

Namun, fakta bahwa Kitaoka datang dari jauh untuk ini tidak berubah. Mengatakan "Maaf telah merepotkanmu" dengan ketidakpedulian yang terdengar seperti sarkasme. Oh, dia juga mengulurkan kantong kertas kecil.

“Itu, dan ini juga”

Ternyata kantong kertas ini juga dibawakan untuk ku. Apakah tas dari toko umum di suatu tempat? Logo dan desain keduanya imut.

“Eh, ini untukku?”

Kitaoka diam-diam mengangguk. Di dalamnya ada kue-kue bermotif kotak-kotak. Apakah ini baru dipanggang? Bau mentega samar tercium.

“Kalau yang seperti ini, mudah untuk dibuat sendiri. Aku juga punya sisa bahan. Dan juga…"

Dia dengan cepat mengatakan sesuatu sebagai alasan dan, "Aku bersyukur, tapi ini bukan sesuatu yang hebat" ditambahkan di akhir.

Tetapi menerima kue buatan tangan dari seorang cewek adalah pengalaman baru bagi ku. Sebaliknya, aku berpikir bahwa meskipun itu dari sisa bahan, aku benar-benar berterima kasih.

"Ah tidak. Terima kasih"

Aku menjawab singkat.

Sementara aku berpura-pura tenang, karena aku cukup bahagia di dalam, Kitaoka mundur selangkah dan berkata, dengan suara kecil:

“…Waktu itu di kamp pelatihan, kamu benar-benar menyelamatkanku.”

“Ah… Yah, aku hanya meminjamkanmu sepatuku.”

Aku tidak mendapat kata 'Terima Kasih', tapi entah bagaimana perasaan itu tersampaikan. Terkadang dia bisa bertingkah imut juga, ya? aku pikir.

Dengan punggung yang berbalik sambil bergumam 'baiklah', aku buru-buru memanggilnya.

“Kitaoka”

"Apa?"

Dia menoleh, dengan rambutnya bergoyang dalam cahaya yang memudar. Tentunya karena Kitaoka yang ini berbeda dari yang biasanya sehingga aku juga merasa aneh. ‘ini bukan seperti diriku sendiri’, pikir ku sambil mulut ku terbuka tanpa sadar.

"Jalan apa yang kamu ambil untuk sampai ke sini?"

“Eh… aku pergi ke AEON dari stasiun dan mengikuti jalan raya…”
(semacam pusat perbelanjaan, stasiun di jepang biasanya berpusat di mall dan tempat rame)

“…ada jalan pintas. Saya juga punya hal yang harus dilakukan di stasiun, jadi tunggu sebentar ”

Hari semakin gelap sehingga mengambil rute yang berbeda akan menjadi buruk.

Tetapi mengatakan dengan lugas 'Aku akan mengantarmu ke sana' mungkin akan membuat ku ditolak. Mengikuti prediksi itu, Kitaoka mengangguk dengan wajah ambigu.

Aku mengambil dompet dan kunci sepeda, memakai sepatu di pintu masuk, dan pergi. Kitaoka melihat ke semak-semak sambil menunggu ku di luar gerbang.

Sementara gelapnya hari mewarnai daerah pemukiman ultramarine, aku mengayuh sepeda menuju stasiun.

Berada di belakangku adalah seorang gadis yang cantikAku tidak tahu apakah itu sampo atau parfumnya, tapi bagaimanapun juga mencium aroma manis dari dekat dengan paksa mengingatkan ku akan keberadaannya setiap detik.

Namun, ada baiknya aku berhasil mengantarnya kembali, tetapi apa yang kami bicarakan di jalan. Tidak ada sedikit pun topik bagus yang terlintas dalam pikiran karena ketegangan dan perasaan berdebar.

Akhirnya, karena tidak tahan dengan keheningan, Kitaoka-lah yang berbicara lebih dulu.

"Kamu tahu…"

"Apa?"

"Kamu membeli kacamata baru, kan?"

“Eh?”

Aku bingung. Sudah dua tahun sejak terakhir kali aku mendapatkan kacamata baru, aku sudah menggunakan kacamata ini cukup lama sekarang.

Mengapa dia mengatakan itu aku bertanya-tanya, mungkin dia salah mengira ku  dengan cowok berkacamata lainnya? Aku berpikir sedikit, tapi menyentuh bingkai kacamata ku mengingatkan ku pada alasan yang masuk akal.

“Ah, jadi begitu. Di sekolah aku menggunakan yang berbeda. ”

"Hah? Maksud mu apa?"

Aku selalu menggunakan yang ini di rumah.”

Kacamata berbingkai tebal berwarna biru tua. Aku membelinya di tahun ketiga sekolah menengah sebagai pengganti kacamatanya yang rusak, tapi sekarang kacamata ini dikhususkkan untuk dirumah.

Atas penjelasanku, dia bertanya:

"Kenapa kamu tidak menggunakan yang ini di sekolah?"

Situasinya sama seperti dalam perjalanan kembali dari toko serba ada. Biasanya Kitaoka bersikap tegas, tapi saat satu lawan satu tidak ada sikap langsung. Melihat itu, aku merasa lebih lancar saat berbicara.

“Resolusinya (presepsi) agak lemah untuk ini. Mengukur cairan akan baik-baik saja, tapi sulit mencoba melihat papan tulis di kelas dan menjadi masalah.”

Aku membelinya ketika aku masih di SMP, tetapi belajar untuk ujian dan membaca terlalu banyak buku menyebabkan penglihatan ku menurun. Ketika aku memasuki SMA, aku mendapatkan sepasang baru untuk digunakan sebagai yang baru di sekolah. Itu sebabnya teman dari sekolah lama tidak akrab dengan ku yang memakai kacamata ini.

Kitaoka melihat wajah ku dari samping, dan menyuarakan ketidakpuasannya.

“Eh~, yang ini jauh lebih baik”

"Betulkah?"

“Ya, yang biasa kau tunjukkan bahwa kau adalah seorang otaku”

Aku terkejut dengan kejujuran yang dia katakan dan menurunkan bahuku. Tentu saja, kacamata sekolah ku memiliki bingkai logam tipis dan lensa besar sehingga penglihatan ku tidak terhalang sama sekali. Desainnya agak tua, tapi aku bisa melihat lebih baik berkat itu, jadi aku menyukainya…

“Sepertinya kamu salah paham, tapi aku bukan otaku”

"Apakah begitu?"

"Sayangnya. Mendengarkan apa yang Katsuya katakan, aku tidak mengerti semua itu.”

'Ndak mungkin' sejak dia mengatakan itu, sepertinya dia mengira aku sebenarnya seorang otaku. Aku harus dengan tegas menyangkal itu. Jika aku harus berharapan dengan pembicaraan penggemar yang sama, aku akan bermasalah.

Untuk ini, dia memiringkan kepalanya seolah-olah itu aneh.

“Lalu, kenapa kamu bersama Saitou-kun?”

"'Mengapa kamu bertanya…"

Saitou adalah nama keluarga Katsuya.

Tapi, apakah kau perlu alasan untuk berteman, aku ingin menunjukkan ini.

“Hmm… Karena dia orang yang baik?”

Cewek mungkin merasa penampilannya tidak begitu bagus, tapi dia mengatakan banyak hal menarik. Tetap saja, tidak peduli apa yang dikatakan aku tidak marah dan hanya membiarkannya berlalu, dan ketika aku sakit dia mengunjungi ku untuk membawa catatan dari kelas. Sebagai teman, daripada 100 poin, aku akan memberinya 120.

Atas jawabanku, Kitaoka tertawa.

“Aku mengerti~. Dia orang yang baik~”

Aku tidak tahu persis apa yang lucu, tapi aku tidak bisa merasakan sarkasme atau perasaan dibodohi. Aku ingin meningkatkan pendapat cewek-cewek tentang Katsuya, pikir ku, tapi keinginan itu terlalu berlebihan kurasa.

Setelah tertawa sebentar, Kitaoka mengganti topik, dengan “Itu mengingatkanku.”

“Yasuki adalah bagaimana kamu menyebut namamu, ya. Sebelumnya aku mengacau dan bertanya 'Apakah Yasutaka-kun ada di sini?'”

“Ah, ya, itu sering terjadi.”

Aku mendengar percakapan di pintu masuk sebelumnya sehingga aku tahu tentang itu (meskipun sekarang aku memikirkannya, aku hanya bisa mendengar suara ibu).

Saat pertama kali melihatnya, mereka pasti akan mengatakan 'Yasutaka' jadi meskipun Kitaoka berada di kelas yang sama dengan ku selama lebih dari setahun, mau bagaimana lagi kalau dia salah. Bisa dibilang dia hanya sedikit tertarik pada ku.

“Kunyomi dan Onyomi aneh bukan?”
(Dua macam cara membaca huruf kanji yang berbeda, lebih jelasnya cek google)

Walaupun kamu bilang begitu … tolong beri tahu orang tuaku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk itu.”

Terus terang, aku hanya bisa menghela nafas dan mengangkat bahu. Aku tahu itu adalah hal yang kasar untuk dikatakan, tetapi aku merasa senang bahwa Kitaoka menaburkan gula terhadap apa yang ku katakan.

Lalu bagaimana denganmu?”

Aku tahu, tapi aku berpikir untuk tetap bertanya.

“Itu Ema, kau tahu”

“…nama yang bagus dan normal, ya.”

Membalasnya segera, aku memikirkan itu sekali lagi. Itu tidak terlalu baru, tetapi juga bukan nama lama. Kemungkinan besar, jarang orang salah membaca namanya.

Atas pujian ku, Kitaoka mengangguk sedikit, seolah itu adalah kelebihannya.

"Ya. Itu berasal dari aktris asing”

Aktris asing ... mungkinkah-

“Aku memberitahumu sekarang, bukan 'Imanuel's Wife'”

Dia membaca pikiranku dan aku diam. Nah, itu adalah peran daripada aktris.

“Yah, mirip dengan Emmanuel, tapi… ini dari Emmanuelle Béart, seorang aktris Prancis. Bagaimanapun, dia menawan di masa lalu. ”

Bahkan jika Kitaoka bilang dia imut, aku tidak pernah mendengarnya. Berapa banyak aktris yang ada?

“Hmm… aku tidak mengenalnya”

"Aku tau. Aku tidak pernah mendengar 'Ah, aku tahu siapa dia

Aku meliriknya saat Kitaoka melebih-lebihkan.

Ketika Kitaoka mengatakan hal semacam itu, sepertinya dia memiliki darah asing di dalam dirinya. 'Manusia itu sederhana' pikir ku.

Mendekati stasiun, kami berhenti sejenak di lampu merah. Kitaoka mengeluarkan smartphone dari sakunya dan mulai mengetik sesuatu.

Aku (jelas) tidak bisa melihat isinya, tapi mata ku tidak bisa mengikuti kecepatan jari-jarinya.

"Apa?"

Ketika sepertinya dia terhenti, dia melihat ke arah ku. Tampaknya dia memperhatikan tatapan ku.

"Tidak ada, aku hanya berpikir kau mengetik dengan cepat."

Saat aku menjawab dengan jujur, lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.

Setelah menyeberang, dia memasukkan telepon kembali ke sakunya dan bertanya.

“Itu benar, ketika aku datang, aku melihat daftar nama yang aku dapatkan selama tahun pertama, tetapi nomor rumah Iijima tidak tertulis di sana. Bagaimana dengan smartphonemu?”

Mendengar itu, Aku teringat saat registrasi saat itu. Untuk perlindungan informasi pribadi dan hal-hal, itu tidak sama dengan apa yang digunakan oleh sekolah. Sekitar waktu ketika aku di tahun pertama, di awal tahun, mereka menyebutnya 'semua kelas sukarelawan,' dan mendistribusikan survei yang menanyakan alamat, nomor telepon rumah, dan sekolah menengah.

Setelah itu, setiap orang menerima buklet dengan jawaban atas survei setiap orang yang tercetak di dalamnya. Aku tidak merasa membutuhkannya dan membuangnya saat bersih-bersih tahun baru, tapi sepertinya Kitaoka mengandalkan alamat di dalamnya untuk sampai ke rumah ku.

Untuk pertanyaannya, aku menjawab secara blak-blakan.

“Aku tidak punya ponsel.”

“Eh? Beneran?"

Dia bereaksi seperti yang aku pikirkan. Dapat dikatakan bahwa hampir semua siswa SMA memiliki smartphone baru-baru ini, jadi keterkejutannya dapat dimengerti.

“Kenapa kamu tidak punya satu? Setiap orang memilikinya, kau tahu?”

Kitaoka membuka matanya lebar-lebar, dan berbicara dengan volume yang keras. Sepertinya itu cukup mengejutkan.

Aku menghela nafas sebelum menjawab.

“Ketika aku akan masuk sekolah menengah, orang tua ku bertanya apakah aku lebih suka mendapatkan smartphone atau komputer, dan aku memilih komputer.”

“Tapi tidak nyaman jika kamu tidak membawanya, bukan. Tidakkah semua orang disekitarmu menyuruhmu membeli satu?”

"Yeah..Tapi aku mengurus itu dengan cukup baik

Pada dasarnya karena aku pergi antara rumah, sekolah, dan sekolah persiapannya setiap hari, aku tidak memiliki keperluan yang harus aku lakukan sesegera mungkin. “Jika tidak ada stok, itu akan menjadi masalah” mungkin ada yang mengatakan, tetapi tidak apa-apa asalkan kau tidak terlalu lambat. Aku sudah hafal nomor beberapa teman dekat orang tua ku, jadi aku disuruh menelepon mereka jika terjadi sesuatu. Selain itu, belum lama ini ketika orang menjalani hidup mereka tanpa smartphone, jadi kamu tidak akan mati jika tidak memilikinya.
(gua gak tahu mau tl ini kek gimana, harus bolak balik kamus. Sementara versi raw yang w punya cuman review singkat dari kindle. Bagiannya gak sampe sini)

Kitaoka menatap wajah ku dengan rasa ingin tahu, "Oh" dia berseru, terdengar kagum dan terkejut.

“Komputer, ya… Apakah kamu membutuhkannya? Apa yang kamu lakukan dengan itu?”

“'Apa', katamu… Yah, kamu bisa membuat program dengannya. Smartphone palingan gak bisa buat kek gitu.”

"Program? Kamu bisa menulisnya?”

"Yah ... jika itu yang sederhana"

Sekitar waktu di SMP, perpustakaan memiliki buku Pengenalan JavaAku mencoba menulis sebuah program di komputer sekolah dan ternyata itu sangat menarik. Itu sebabnya ketika ditanya apakah aku menginginkan smartphone atau komputer, aku memilih komputer.

Kitaoka tertawa kering dengan suara yang dapat didengar jelas.

“Jadi kamu adalah otaku”

“…Aku tidak berpikir begitu”

“Tidak, kamu sudah cukup untuk seorang otaku. Terimalah itu dariku

…apakah seperti itu? Sepertinya tidak peduli apa, 'Iijima = otaku' adalah apa yang Kitaoka akan katakan. Aku merasa definisi Kitaoka tentang otaku dan definisi dari ku pasti berbeda.

'Mungkin aku seharusnya tidak mengatakan itu,' aku sedikit menyesal, tetapi aku tidak bisa menahan apa yang sudah terjadi. Hampir menyerah, aku mengencangkan cengkeraman ku pada setang sepeda.

Kami akhirnya mendekati bundaran di depan stasiun. Sudah hampir waktunya untuk berpisah dengan Kitaoka.

“Tapi, tahukah kamu, bukankah akan bagus untuk memiliki smartphone? Rencana keluarga sangat bagus.”

Sekali lagi dengan topik ini… Meskipun seharusnya tidak berpengaruh pada ku apakah aku memilikinya atau tidak…

"Mungkinkah kau bekerja di perusahaan ponsel?" Aku mulai sedikit lelah.

“Untuk mengatakan demikian, kamu pasti sangat keras kepala tentang aku yang tidak memiliki satu, ya. …Yah, aku akan mendapatkannya saat aku kuliah.”

"Hmm. Daripada menjadi keras kepala, itu lebih seperti kamu hanya berpikir untuk membantah, ya. ”

“Katakan apapun yang kamu mau. Bukannya aku menarik sepertimu, jadi aku tidak benar-benar membutuhkannya sekarang”

“Eh…”

Nada bicara Kitaoka tiba-tiba berubah. Apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?

"Ada apa?"

Khawatir, aku menatap wajahnya ketika aku berbalik. Di bawah lampu jalan oranye, Kitaoka cemberut ke tanah dengan wajah canggung.

“Jangan khawatir tentang itu”

Aku tidak melihat banyak, tapi... aku tidak ingin terus mengkhawatirkan hal ituKami hanya di depan stasiun, jadi tidak perlu ada percakapan lagi.

Kitaoka mengeluarkan dompetnya dari tasnya dan berhenti di depan gerbang tiket.

"Yah, hati-hati dalam perjalanan pulang."

"Baik. Sampai ketemu lagi"

Dia tertawa kecil dan melambaikan tangannya. Rambut kastanye dan kaki putihnya semakin menjauh. Sosok gadis yang mundur itu menghilang saat dia menuruni tangga ke peron dari gerbang tiket. Di tengah kerumunan orang dalam perjalanan pulang, dia menggambar mata seperti cahaya. Aku tidak bisa berpaling.

...waktu itu terasa sulit dipercaya. Teman sekelas perempuan yang seperti antitesis bagi ku tiba-tiba muncul di pintu rumahku seperti seorang teman lama dan berbicara dengan ku dalam perjalanan pulang.

Aku yakin bahwa saat kami bertemu lagi di sekolah, dia mungkin akan bertingkah seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Aku mengerti itu, tapi aku tidak bisa menghentikan benih yang tumbuh di dadaku.

Sebelumnya  Daftar isi  Selanjutnya




Related Posts

There is no other posts in this category.

1 komentar

Posting Komentar