Koi Nante Chapter 1 Part 3

Posting Komentar

 

“…-terima kasih~, datang lagi~”

Suara petugas toko serba ada bisa terdengar dari belakang. Aku berjalan keluar melalui pintu otomatis dengan kedua tangan ku penuh membawa barang, dan aroma kuat dari hutan menggelitik hidung ku.

Bertentangan dengan harapan ku, orang yang bertahan sampai akhir di Batu, Gunting, Kertas adalah Aku. Aku mulai di tengah jalan, tetapi aku tidak beruntung. Aku bertanya kepada Uchida di mana toko serba ada: “Hah? Di jalan bus mengambil jalan ke sini, bukan? ”

Tentu saja, aku melihat satu bangunan yang tampak seperti toko sebelum kami memasuki pegunungan dari bus… Tidak mungkin yang itu, jadi ketika aku menanyakannya: “Ah, ya, yang itu,” jawab Uchida.

“Yassan, kau baik-baik saja? Apakah kau ingin pergi bersama?"

Adalah tawaran dari Katsuya, tapi aku menolaknya dengan sopan. Aku selalu bersama seseorang, jadi terkadang aku ingin waktu sendiri, pikir ku.

Akhirnya, Aku dengan santai turun melalui jalan-jalan prefektur di pegunungan tanpa cahaya.

Di toko serba ada aku berbelanja, membaca beberapa buku yang dijual, dan selesai dengan cepat. Sekarang untuk pendakian. Asrama kamp pelatihan jaraknya sekitar 2 km. Hmm, sepertinya minuman udah gak dingin lagi nantinya.

Namun, aku tidak punya niat untuk terburu-buru. Keheningan malam di mana sesekali terdengar suara serangga dan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan di kulit yang bertentangan dengan panasnya siang hari, keduanya menyenangkan.

Sekitar sepertiga perjalanan aku berjalan, lengan ku mulai terasa berat. "Seharusnya aku mengajak Katsuya." Pada saat aku memikirkan itu, siluet keputihan tepat setelah sedikit tikungan di jalan muncul.

Apa itu?

Seharusnya tidak ada di sana dalam perjalanan ke sini. Melihat dari dekat, itu adalah seseorang, dan dia berjongkok seolah-olah sedang terluka.

Sambil berjalan, aku secara bertahap mendekati siluet itu. Sebelum aku sempat berkata "Apakah kamu baik-baik saja," Aku dengan cepat berhenti.

Berwarna cerah dengan ombak lembut dan punggung ramping. Aku ingat gaya rambut dan penampilan ini. Tanpa keraguan.

… Kitaoka

'Apa yang harus saya lakukan,' Aku ragu-ragu. Jika aku mengulurkan tangan, aku pasti akan ditolak hanya dengan 'Jangan khawatir.' Aku tidak ingin bantuan ku ditolak dengan dingin untuk kedua kalinya oleh orang yang sama. Memikirkan sesuatu, berpura-pura tidak melihat sepertinya rencana yang bagus.

Berpura-pura tidak peduli, aku melewati Kitaoka yang mengenakan kaos putih, membungkuk disisi.

...tapi, ketika aku selangkah lebih maju dari Kitaoka, aku menjadi sedikit khawatir, dan mengirim pandangan sekilas ke punggungnya.

Pada saat itu, mata kami bertemu.

Ah…

Kitaoka segera membuang muka. Tetapi dalam kegelapan malam, aku merasa bahwa untuk sesaat aku melihat dia menangis.

…Haruskah aku mengabaikan nya? Tapi mata itu mungkin terlihat sedang mencari bantuan.

Aku berjalan kembali ke Kitaoka, menguatkan tekad dan bertanya:

"Ada apa?"

Kitaoka menjawab dengan kepala tertunduk dengan suara lemah, tidak seperti biasanya

“Sandal rusak…”

Di tanah aspal, di antara barang belanjaan Kitaoka, terbentang sandal halus. Sepertinya jenis yang tetap dengan tali pergelangan kaki, tapi jahitannya jelek dan talinya robek. Dia juga pergi berbelanja, karena ada tas toko di sebelahnya.

Mata ku tiba-tiba jatuh ke jari kaki Kitaoka yang telanjang.

...Waah, ini buruk

Apakah sandalnya pas dengan kakinya? Sendi di jempol kaki dan jari kelingkingnya memiliki lepuh darah yang bengkak sampai ada cairan. Apalagi sandal itu sepertinya cepat rusak. Tidak repot memakainya jika tidak pas. Merasa kasihan, Aku berjongkok di depan Kitaoka dan menatap wajahnya.

"Kaki sakit? Bisakah kau berjalan?”

Tetap diam, dia menggelengkan kepalanya.

'Begitu,' gumamku menarik napas dalam-dalam dan berdiri.

“G-gendong di punggung benar-benar tidak, oke?”

"Hah?"

Aku benar-benar tidak punya niat untuk menggendongnya. Pertama-tama, sesuatu seperti mendaki bukit ini sambil membawa seseorang bersama dengan barang-barang, menempun jarak jauh akan sulit bagi ku, walaupun aku suka mendaki.

Aku membuka tali sepatu kets yang ku kenakan, melepasnya, dan melemparkannya ke depan Kitaoka.

“Pakai itu”

'Hah', kata Kitaoka, membuka matanya lebar-lebar.

“Ukurannya harus lebih besar, jadi lecetnya tidak kena, kan? Jika kau mengatakan kau tidak menginginkannya, itu juga tidak masalah. ”

Sementara aku menyampaikan itu dengan nada yang sedikit kejam, Kitaoka, daripada menjawab, memasukkan kakinya ke dalam sepatu kets.

Converse Allstar, memiliki desain unisex, jadi itu tidak terlihat aneh ketika Kitaoka memakainya. Aku juga memakai kaus kaki, jadi jika hanya sampai kembali ke asrama maka aku bisa mengurus ini.

Dia dengan paksa mengikat talinya dan dengan goyah bangkit berdiri. Kakinya sedikit terseret saat dia mulai berjalan.

“Berikan aku tas mu juga.”

Aku sudah membawa tas yang berat sendiri, tetapi aku tidak bisa meminta seorang gadis, apalagi orang yang terluka, untuk memegang apa pun.

Kitaoka, sekali lagi dalam diam, memberikan tas toko serba ada di tangannya.

Seorang wanita tanpa rasa terima kasih, ya

Aku berpikir sambil menerima tas. Lebih baik jika setidaknya mengatakan sesuatu, tapi apakah akan menyakitkan untuk menjadi sedikit lebih ramah? Juga…

... juga, berbicara tentang hal-hal yang aku katakan, apakah gadis ini berpikir mengatakan 'terima kasih' akan merugikannya? Aku bertanya-tanya apakah cewek ini memandang ku rendah.

Aku agak jijik dengan pikiran ku sendiri, tetapi setelah menarik napas panjang, Aku berjalan di jalan gunung dalam keheningan yang sama dengannya.

Terkadang aku menginjak batu besar, dan seperti yang diharapkan, berjalan hanya dengan sepasang kaus kaki terasa kasar.

5 menit? 10? Aku tidak tahu, tapi setelah beberapa saat berlalu, Kitaoka yang seharusnya berjalan di belakang tiba-tiba memanggil.

"Hei tunggu!"

"Apa?"

"Aku bilang kamu berjalan terlalu cepat!"

Melihat dari balik bahu ku, ada jarak sekitar 20 meter di antara kami. Yang dia ajak bicara adalah orang yang meminjamkan sepatu dan membawa tas untuknya, itu sikap yang agak songong.

Namun, orang lain terluka. Aku berhenti dan menunggunya menyusul, lalu memperlambat langkah ku dibandingkan sebelumnya.

Dengan kecepatan yang sama dan berjalan berdampingan, Kitaoka yang mengikuti tiba-tiba menghadap ke arah ku dan berkata:

“Hei~Hei~, apakah kamu Uchida gofer?”

(semacam pegawai yang bertugas dalam spesialisasi mengantar barang)

Gofer… itu pernyataan yang cukup umum. Sepertinya dia menganggap ku sebagai sesuatu semacam itu.

"Bukan, aku baru saja kalah Batu, Gunting, Kertas”

Untuk alasan sebenarnya yang aku katakan, Kitaoka mengangguk dan menggumamkan 'Hmm.'

“Jadi seperti itu. Aku juga."

"Oh?"

“Aku, Miyu, dan Juri sedang berbicara, tetapi mereka menyebutkan tes keberanian; melakukan Batu, Gunting, Kertas; Aku kalah, aku terpaksa pergi.”

Jadi hal semacam itu terjadi di antara gadis-gadis. …atau haruskah aku mengatakan bagaimana jika sesuatu terjadi dan tidak ada cara untuk menelepon seseorang. Teman cewek ini…

Ketika aku mengingat wajah nama-nama yang Kitaoka sebutkan beberapa saat yang lalu, aku tanpa sadar bergumam

“Ah, itu…”

"Apa?"

Aku menutup mulutku, tapi Kitaoka tidak melepaskannya. Mengatakan 'Apa itu?'

Pada saat itu, dia mulai berjalan di samping ku dan menatap wajah ku sambil tersenyum dan tertawa.

“Ah, mungkinkah itu tentang Sasaki-kun?”

Tepat sasaran. Di pesta sebelumnya, Sasaki Ryou menyesal ditolak oleh Mochida Miyu.

Bagaimana dia menolaknya… aku menjadi penasaran tentang itu, tapi sepertinya Kitaoka tahu tentang itu. (Ngomong-ngomong, Kitaoka memiliki rambut bergelombang, sedangkan Mochida memiliki rambut lurus seperti sutra. Jika aku harus mengatakannya, aku rasa Mochida lebih populer di kalangan pria.)

Kitaoka dengan ringan mengangkat bahu dan melingkarkan rambutnya di sekitar jarinya sambil berkata:

“Itu tidak bisa dihindari, kau tahu. Lagipula, Miyu sedang berkencan dengan seorang mahasiswa sekarang”

“Eh, benarkah?”

"Ya. Itu adalah senpai dari kota kelahirannya, rupanya. …Ah, itu rahasia lho.”

“Lalu, kenapa memberitahuku?”

“Karena kamu sepertinya mudah menjaga rahasia”

Dia dengan cepat menyatakan itu. Aku tidak tahu apakah aku harus senang tentang itu, tetapi aku tidak begitu mengerti mengapa aku diberitahu hal-hal yang tidak perlu aku ketahui. Bisa jadi karena terlalu lama berjalan, Kitaoka mungkin hanya bosan.

Akhirnya, dari saat Kitaoka tidak bisa tidur karena kasurnya keras hingga dia tidak mengerti eksponen/logaritma, dia mulai mengeluh tentang apa pun. Aku juga menjawab sedikit demi sedikit, tapi tak lama kemudian, karena kami mulai lelah, Kitaoka juga berhenti berbicara.

Sementara kami terus berjalan dalam diam, akhirnya lampu asrama mulai terlihat. Bernafas lega saat pergi ke pintu belakang, di dekat pintu dapur sebuah bayangan bisa terlihat. Itu datang ke arah kami melambaikan tangannya dengan liar.

“Ah, Emma!”

Seorang gadis berambut bob bertubuh pendek berlari ke Kitaoka. Itu Andou Juri dari kelas yang sama. Saking senangnya, cewek berbaju hitam itu sepertinya tidak melihat ku.

Andou melompat ke Kitaoka, dan berbicara dengan suara yang emosional.

“Emma! Aku terus menunggu, tapi kamu tidak pernah kembali. Aku sangat khawatir!"

“Ah, maaf. maaf."

"Beneran deh! Aku bahkan gak bisa menelepon mu, tahu!? Aku gak tahu harus ngapain!”

Kitaoka memegangi tubuh kecil Andou dan menepuk pundaknya untuk menenangkannya.

'Setelah 5 menit lagi adalah waktu pertemuan guru.'

'...lupakan itu.' Aku juga bisa mendengar percakapan semacam ini.

Andou linglung selama reuni yang mengasyikkan, bersama dengan alasan mengapa Kitaoka terlambat, aku tidak melihat Andou memperhatikan bahwa Kitaoka tidak mengenakan sandalnya lagi. Andou terdengar seperti akan menangis, dan hanya dari situ orang bisa mengerti betapa cemasnya dia.

Mereka terlihat rukun...

Aku memikirkan dan kembali ke kesadaranku

…pasti Kitaoka tidak akan suka jika teman-temannya tahu aku bersamanya, menanyakan ini dan itu. Tidak apa-apa jika dia mengembalikan sepatu itu nanti. Selain itu, jika aku terlambat kali ini, bisa jadi teman-teman ku mengatakan 'Orang itu, apa yang dia lakukan?'

Aku meninggalkan tas Kitaoka di tempat di mana Andou tidak bisa melihatnya, dan tanpa mengatakan apapun aku pergi.

Dari belakang, aku masih bisa mendengar suara nyaring Andou, “Kalau dia rewel sebanyak itu, guru-guru akan mendengarnya,” pikirku.


Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar