“…-terima kasih~, datang lagi~”
Suara petugas toko serba ada bisa terdengar dari belakang. Aku berjalan
keluar melalui pintu otomatis dengan kedua tangan ku penuh membawa barang, dan
aroma kuat dari hutan menggelitik hidung ku.
Bertentangan dengan harapan ku, orang yang bertahan sampai akhir di
Batu, Gunting, Kertas adalah Aku. Aku mulai di tengah jalan, tetapi aku tidak
beruntung. Aku bertanya kepada Uchida di mana toko serba ada: “Hah? Di jalan
bus mengambil jalan ke sini, bukan? ”
Tentu saja, aku melihat satu bangunan yang tampak seperti toko sebelum
kami memasuki pegunungan dari bus… Tidak mungkin yang itu, jadi ketika aku menanyakannya:
“Ah, ya, yang itu,” jawab Uchida.
“Yassan, kau baik-baik saja? Apakah kau ingin pergi bersama?"
Adalah tawaran dari Katsuya, tapi aku menolaknya dengan sopan. Aku
selalu bersama seseorang, jadi terkadang aku ingin waktu sendiri, pikir ku.
Akhirnya, Aku dengan santai turun melalui jalan-jalan prefektur di
pegunungan tanpa cahaya.
Di toko serba ada aku berbelanja, membaca beberapa buku yang dijual, dan
selesai dengan cepat. Sekarang untuk pendakian. Asrama kamp pelatihan jaraknya
sekitar 2 km. Hmm, sepertinya minuman udah gak dingin lagi nantinya.
Namun, aku tidak punya niat untuk terburu-buru. Keheningan malam di mana
sesekali terdengar suara serangga dan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan di
kulit yang bertentangan dengan panasnya siang hari, keduanya menyenangkan.
Sekitar sepertiga perjalanan aku berjalan, lengan ku mulai terasa berat.
"Seharusnya aku mengajak Katsuya."
Pada saat aku memikirkan itu, siluet keputihan tepat setelah sedikit tikungan
di jalan muncul.
Apa itu?
Seharusnya tidak ada di sana dalam perjalanan ke sini. Melihat dari
dekat, itu adalah seseorang, dan dia berjongkok seolah-olah sedang terluka.
Sambil berjalan, aku secara bertahap mendekati siluet itu. Sebelum aku
sempat berkata "Apakah kamu baik-baik saja," Aku dengan cepat
berhenti.
Berwarna cerah dengan ombak lembut dan punggung ramping. Aku ingat gaya
rambut dan penampilan ini. Tanpa keraguan.
… Kitaoka
'Apa yang harus saya
lakukan,' Aku ragu-ragu. Jika aku mengulurkan tangan, aku pasti akan ditolak
hanya dengan 'Jangan khawatir.' Aku
tidak ingin bantuan ku ditolak dengan dingin untuk kedua kalinya oleh orang
yang sama. Memikirkan sesuatu, berpura-pura tidak melihat sepertinya rencana
yang bagus.
Berpura-pura tidak peduli, aku melewati Kitaoka yang mengenakan kaos
putih, membungkuk disisi.
...tapi, ketika aku selangkah lebih maju dari Kitaoka, aku menjadi
sedikit khawatir, dan mengirim pandangan sekilas ke punggungnya.
Pada saat itu, mata kami bertemu.
Ah…
Kitaoka segera membuang muka. Tetapi dalam kegelapan malam, aku merasa
bahwa untuk sesaat aku melihat dia menangis.
…Haruskah aku mengabaikan nya? Tapi mata itu mungkin terlihat sedang
mencari bantuan.
Aku berjalan kembali ke Kitaoka, menguatkan tekad dan bertanya:
"Ada apa?"
Kitaoka menjawab dengan
kepala tertunduk dengan suara lemah, tidak seperti biasanya
“Sandal rusak…”
Di tanah aspal, di
antara barang belanjaan Kitaoka, terbentang
sandal halus. Sepertinya jenis yang tetap dengan tali pergelangan kaki, tapi
jahitannya jelek dan talinya robek. Dia juga pergi berbelanja, karena ada tas
toko di sebelahnya.
Mata ku tiba-tiba jatuh
ke jari kaki Kitaoka yang telanjang.
...Waah, ini buruk
Apakah sandalnya pas dengan kakinya? Sendi di jempol kaki dan jari
kelingkingnya memiliki lepuh darah yang bengkak sampai ada cairan. Apalagi sandal itu sepertinya cepat rusak. Tidak
repot memakainya jika tidak pas. Merasa kasihan, Aku berjongkok di depan
Kitaoka dan menatap wajahnya.
"Kaki sakit?
Bisakah kau berjalan?”
Tetap diam, dia
menggelengkan kepalanya.
'Begitu,'
gumamku menarik napas dalam-dalam dan berdiri.
“G-gendong di punggung
benar-benar tidak, oke?”
"Hah?"
Aku benar-benar tidak
punya niat untuk menggendongnya. Pertama-tama, sesuatu seperti mendaki bukit
ini sambil membawa seseorang bersama dengan barang-barang, menempun jarak jauh
akan sulit bagi ku, walaupun aku suka
mendaki.
Aku membuka tali sepatu
kets yang ku kenakan, melepasnya, dan melemparkannya ke depan Kitaoka.
“Pakai itu”
'Hah', kata Kitaoka,
membuka matanya lebar-lebar.
“Ukurannya harus lebih
besar, jadi lecetnya tidak kena, kan? Jika kau mengatakan kau tidak
menginginkannya, itu juga tidak masalah. ”
Sementara aku
menyampaikan itu dengan nada yang sedikit kejam, Kitaoka, daripada menjawab,
memasukkan kakinya ke dalam sepatu kets.
Converse Allstar, memiliki
desain unisex, jadi itu tidak terlihat aneh ketika Kitaoka memakainya. Aku juga
memakai kaus kaki, jadi jika hanya sampai kembali ke asrama maka aku bisa
mengurus ini.
Dia dengan paksa
mengikat talinya dan dengan goyah bangkit berdiri. Kakinya sedikit terseret
saat dia mulai berjalan.
“Berikan aku tas mu
juga.”
Aku sudah membawa tas
yang berat sendiri, tetapi aku tidak bisa meminta seorang gadis, apalagi orang
yang terluka, untuk memegang apa pun.
Kitaoka, sekali lagi
dalam diam, memberikan tas toko serba ada di tangannya.
Seorang wanita tanpa rasa terima kasih, ya
Aku berpikir sambil
menerima tas. Lebih baik jika setidaknya mengatakan sesuatu, tapi apakah akan menyakitkan untuk menjadi sedikit
lebih ramah? Juga…
... juga, berbicara
tentang hal-hal yang aku katakan, apakah gadis ini berpikir mengatakan 'terima
kasih' akan merugikannya? Aku bertanya-tanya apakah cewek ini memandang ku
rendah.
Aku agak jijik dengan
pikiran ku sendiri, tetapi setelah menarik napas panjang, Aku berjalan di jalan
gunung dalam keheningan yang sama dengannya.
Terkadang aku menginjak
batu besar, dan seperti yang diharapkan, berjalan hanya dengan sepasang kaus
kaki terasa kasar.
5 menit? 10? Aku tidak
tahu, tapi setelah beberapa saat berlalu, Kitaoka yang seharusnya berjalan di
belakang tiba-tiba memanggil.
"Hei tunggu!"
"Apa?"
"Aku bilang kamu
berjalan terlalu cepat!"
Melihat dari balik bahu
ku, ada jarak sekitar 20 meter di antara kami. Yang dia ajak bicara adalah
orang yang meminjamkan sepatu dan membawa tas untuknya, itu sikap yang agak
songong.
Namun, orang lain
terluka. Aku berhenti dan menunggunya menyusul, lalu memperlambat langkah ku
dibandingkan sebelumnya.
Dengan kecepatan yang
sama dan berjalan berdampingan, Kitaoka yang mengikuti tiba-tiba menghadap ke
arah ku dan berkata:
“Hei~Hei~, apakah kamu
Uchida gofer?”
(semacam pegawai yang bertugas dalam spesialisasi mengantar barang)
Gofer… itu pernyataan
yang cukup umum. Sepertinya dia menganggap ku sebagai sesuatu semacam itu.
"Bukan, aku baru
saja kalah Batu, Gunting, Kertas”
Untuk alasan
sebenarnya yang aku katakan, Kitaoka
mengangguk dan menggumamkan 'Hmm.'
“Jadi seperti itu. Aku
juga."
"Oh?"
“Aku, Miyu, dan Juri
sedang berbicara, tetapi mereka menyebutkan tes keberanian; melakukan Batu,
Gunting, Kertas; Aku kalah, aku terpaksa pergi.”
Jadi hal semacam itu
terjadi di antara gadis-gadis. …atau haruskah aku mengatakan bagaimana jika
sesuatu terjadi dan tidak ada cara untuk menelepon seseorang. Teman cewek ini…
Ketika aku mengingat
wajah nama-nama yang Kitaoka sebutkan beberapa saat yang lalu, aku tanpa sadar
bergumam
“Ah, itu…”
"Apa?"
Aku menutup mulutku,
tapi Kitaoka tidak melepaskannya. Mengatakan 'Apa itu?'
Pada saat itu, dia mulai berjalan di samping ku dan menatap
wajah ku sambil tersenyum dan tertawa.
“Ah, mungkinkah itu
tentang Sasaki-kun?”
Tepat sasaran. Di pesta
sebelumnya, Sasaki Ryou menyesal ditolak oleh Mochida Miyu.
Bagaimana dia
menolaknya… aku menjadi penasaran tentang itu, tapi sepertinya Kitaoka tahu
tentang itu. (Ngomong-ngomong, Kitaoka memiliki rambut bergelombang, sedangkan
Mochida memiliki rambut lurus seperti sutra. Jika aku harus mengatakannya, aku
rasa Mochida lebih populer di kalangan pria.)
Kitaoka dengan ringan
mengangkat bahu dan melingkarkan rambutnya di sekitar jarinya sambil berkata:
“Itu tidak bisa
dihindari, kau tahu. Lagipula, Miyu sedang berkencan dengan seorang mahasiswa
sekarang”
“Eh, benarkah?”
"Ya. Itu adalah
senpai dari kota kelahirannya, rupanya. …Ah, itu rahasia lho.”
“Lalu, kenapa
memberitahuku?”
“Karena kamu sepertinya
mudah menjaga rahasia”
Dia dengan cepat
menyatakan itu. Aku tidak tahu apakah aku harus senang tentang itu, tetapi aku
tidak begitu mengerti mengapa aku diberitahu hal-hal yang tidak perlu aku
ketahui. Bisa jadi karena terlalu lama berjalan, Kitaoka mungkin hanya bosan.
Akhirnya, dari saat
Kitaoka tidak bisa tidur karena kasurnya keras hingga dia tidak mengerti
eksponen/logaritma, dia mulai mengeluh tentang apa pun. Aku juga menjawab
sedikit demi sedikit, tapi tak lama kemudian, karena kami mulai lelah, Kitaoka
juga berhenti berbicara.
Sementara kami terus
berjalan dalam diam, akhirnya lampu asrama mulai terlihat. Bernafas lega saat
pergi ke pintu belakang, di dekat pintu dapur sebuah bayangan bisa terlihat.
Itu datang ke arah kami melambaikan tangannya dengan liar.
“Ah, Emma!”
Seorang gadis berambut
bob bertubuh pendek berlari ke Kitaoka. Itu Andou Juri dari kelas yang sama.
Saking senangnya, cewek berbaju hitam itu sepertinya tidak melihat ku.
Andou melompat ke
Kitaoka, dan berbicara dengan suara yang emosional.
“Emma! Aku terus
menunggu, tapi kamu tidak pernah kembali. Aku sangat khawatir!"
“Ah, maaf. maaf."
"Beneran deh! Aku
bahkan gak bisa menelepon mu, tahu!? Aku gak tahu harus ngapain!”
Kitaoka memegangi tubuh
kecil Andou dan menepuk pundaknya untuk menenangkannya.
'Setelah 5 menit lagi
adalah waktu pertemuan guru.'
'...lupakan itu.' Aku
juga bisa mendengar percakapan semacam ini.
Andou linglung selama reuni yang mengasyikkan, bersama
dengan alasan mengapa Kitaoka terlambat, aku tidak melihat Andou memperhatikan
bahwa Kitaoka
tidak mengenakan sandalnya lagi. Andou
terdengar seperti akan menangis, dan hanya dari situ orang bisa mengerti betapa
cemasnya dia.
Mereka terlihat rukun...
Aku memikirkan dan
kembali ke kesadaranku
…pasti Kitaoka tidak
akan suka jika teman-temannya tahu aku bersamanya, menanyakan ini dan itu.
Tidak apa-apa jika dia mengembalikan sepatu itu nanti. Selain itu, jika aku
terlambat kali ini, bisa jadi teman-teman ku mengatakan 'Orang itu, apa yang
dia lakukan?'
Aku meninggalkan tas
Kitaoka di tempat di mana Andou tidak bisa melihatnya, dan tanpa mengatakan apapun aku pergi.
Dari belakang, aku masih bisa mendengar suara nyaring Andou, “Kalau
dia rewel sebanyak itu, guru-guru akan mendengarnya,” pikirku.

Posting Komentar
Posting Komentar