Koi Nante Vol 2 Chapter 9 Part 3

3 komentar

 

(A—, ......, sekarang, ......)

Suara air yang mengalir. Seorang gadis sedang mandi di rumahku. Ini adalah situasi yang jarang terjadi, anehnya itu nyata. Aku membenturkan kepala ke meja beberapa kali dan menghela nafas berat, mencoba mematikan sakelar fantasi yang akan segera dihidupkan.

Orang dewasa di dunia ini luar biasa. Sungguh menakjubkan betapa banyak dari situasi tegang yang menyiksa ini yang telah mereka atasi. Paling tidak, aku sangat gugup dan gelisah sehingga rangsangan sekecil apa pun akan membuat kulit ku meledak. Poof! Seperti balon dengan jarum yang tertancap di dalamnya. Ini seperti menginjak ranjau darat yang tersembunyi di dalam debu.

Dalam upaya untuk mengalihkan perhatian ku, aku mengeluarkan laptop dan menyalakannya. Pada saat seperti ini, pekerjaan monoton itu bagus. Tapi aku sudah selesai menghapus email iklan dan menandai foto, jadi ....... aku melihat permainan klasik "Minesweeper" ....... Ya, itu agak berarti.

Aku memulai permainan, memakai headphone untuk menghindari kebisingan, dan klik mouse untuk memperluas layar. Kadang-kadang, membuat kesalahan dan menginjak ranjau. Boom! Boom. Tingkat keberhasilannya mungkin lebih rendah dari biasanya. Tapi kesederhanaan dan kedalaman permainan membuat ku lupa waktu berlalu. Aku bertanya-tanya tentang algoritme permainan, karena penempatannya berubah setiap saat.

Aku tenggelam dalam permainan untuk sementara waktu. Aku mendapat skor tercepat, dan jumlah ranjau yang tersisa ditampilkan sebagai "3". Nah, tepat saat itu,

"Apa yang kamu lakukan?"

Aku sangat terkejut sehingga tangan ku terpeleset dan sebuah ranjau meledak. Aku buru-buru melepas headphoneku dan berbalik untuk melihat seorang gadis duduk tepat di belakangku, mengenakan hoodie dan celana olahraga dengan gaya santai.

Itu adalah pakaian Uniqlo yang umum, tapi itu benar-benar berbeda dari apa yang aku kenakan. Rambutnya berwarna pastel disanggul di atas kepalanya dengan ikat rambut, dan wajahnya di bawahnya mungkin adalah wajahnya yang telanjang (tampa make up). Kulit halus, bulu mata panjang dan mata besar, kontur berbentuk baik ... Dipersiapkan dengan baik tanpa riasan apa pun, dan pipi serta bibir yang telah disegarkan setelah mandi lebih berkilau dan lezat. Aku sangat senang sehingga pangkal hidung ku hampir naik beberapa inci, jadi aku menutup mulutku dan menjawab.

"Yah, ......, aku hanya menghabiskan waktu."

"Begitu. Aku merasa nyaman dan santai di kamar mandi. Aku bahkan menggunakan shampoo mu dengan bebas."

"Oh, ......, silakan gunakan."

Saat aku menjawab dengan nada samar, Kitaoka memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu dan bertanya.

"Apa mainnya masih lama?”

"Tidak, tidak sama sekali."

"Kalau gitu sepertinya bak mandinya tidak bisa dipanaskan kembali, dan akan menjadi dingin jika sudah terlambat."

Aku memberikan jawaban singkat dan menuju kamar mandi. Aku tidak memeriksa apa-apa, tapi saat aku pergi mandi, airnya dingin, dan aku hanya menutupi kepala ku dengan itu dan mengeluarkan suara aneh, "gyaah"

Seolah-olah surga menyuruh ku untuk "tenang". ......

 

Aku salah mengira sampo dan kondisioner (seperti biasa) dan hampir tenggelam di bak mandi karena kekuatan di luar kendaliku, tapi entah bagaimana aku berhasil keluar dari bak mandi, mengeringkan rambut dan tubuh, lalu kembali ke kamar. Sebelumku menyadarinya, Kitaoka telah menurunkan rambutnya dan sedang duduk di tempat tidur sambil memainkan ponselnya. Sweatshirt yang aku pinjamkan sepertinya terlalu besar, dan dia melipat ujungnya beberapa kali.

Ngomong-ngomong, itu satu-satunya pakaian yang kupinjamkan......, melihat lehernya dari hoodie yang longgar dan membayangkan sesuatu yang lain.

Kitaoka mendongak seolah-olah dia menyadari bahwa dia sedang ditatap. Aku secara refleks mengalihkan pandanganku ke dinding.

"Kamu tadi mengucapkan sesuatu?"

"Oh, ......, showernya dingin."

"Oh, benarkah? Apa aku mengubahnya, ya?”

Aku sendiri tidak ingat mengubah tuas air panas menjadi air dingin, jadi mungkin itu saja. Tapi itu normal untuk tidak tahu apa yang dilakukan di rumah orang lain, aku tidak ingin menyalahkannya jadi aku biarkan saja.

Ucap Kitaoka, kakinya berayun-ayun, kembali menatap ponselnya.

"Apa kamu ingin keluar sebentar besok?"

"Keluar? Kemana?”

"Disekitar, Yamadera cukup dekat disini"

Aku yang baru saja tiba di sini, tahu tentang tempatnya. Itu adalah salah satu tempat wisata paling terkenal di prefektur. Sangat mudah untuk pergi dari sini, jadi mungkin sempurna untuk kunjungan singkat. Cepat atau lambat aku ingin pergi ke sana.

Kemudian Kitaoka, yang sedang mengoperasikan ponselnya, terdiam.

"ah"

"Nani?"

"Kudengar Yamadera adalah kuil untuk memutuskan hubungan”

"Eh, beneran?"

Kuil dengan legenda bahwa pasangan akan putus jika mereka pergi ke sana bersama. Yah, itu hanya kutukan, itu saja. Aku mencoba yang terbaik untuk bertanya dengan datar.

"Karena kita di sini, kita bisa pergi jika kamu mau. Bagaimana menurutmu?"

"Gak, aku gak mau......"

Suara Kitaoka tidak enak. Aku tahu seharusnya aku tidak bertanya. Aku ingat gadis-gadis memang peduli tentang hal-hal seperti itu.

"Kalau begitu yang lain...?"

Sambil menggumamkan ini, Kitaoka mencari kandidat berikutnya. Mungkin, akan lebih aman untuk pergi dengan tempat yang dia inginkan daripada membawanya ke suatu tempat aneh yang harus aku cari.

Sementara itu, aku memindahkan meja dan mengeluarkan kantong tidurku dari lemari dan meletakkannya di lantai di samping tempat tidur.

"Eh, kamu ngapain?"

"Aku akan tidur di sini. Kamu bisa menggunakan tempat tidurku."

"Kenapa kamu tidak tidur saja denganku?"

Aku cemas dengan tawarannya yang berani.

Tentu saja, bukan karena aku tidak mau, hanya saja….

"......terlalu sempit kan?"

Tidak peduli seberapa ramping Kitaoka dan tubuhku tidak terlalu besar untuk ukuran pria, aku merasa dua orang di tempat tidur 1 orang terlalu kecil untuk tidur nyenyak. Agak canggung membuatnya merasa sangat sesak, mengingat dia datang jauh-jauh ke sini.

Namun, mungkin dia merasa tidak enak karena memonopoli tempat tidur, jadi dia melanjutkan, "Tapi .......”

"Di sana dingin. Nanti kamu masuk angin."

"Un, tapi ini lumayan....."

Kantong tidurnya terlihat tipis, tapi cukup untuk membuatku tetap hangat di kamar.

Saat Kitaoka menyerah, Aku menyelinap ke dalam kantong tidurku.

"Eh, kamu mau tidur sekarang?

"Ah... sebaiknya tidur lebih awal jika ingin pergi besok. Kitaoka juga capek kan? Kalau sudah selesai mencari-cari, pergilah tidur?"

Aku menjawab dan duduk di lantai. Mereka bilang besok akan membawa angin yang, dan mungkin ada solusi yang baru saat aku bangun tidur. Aku berharap untuk itu malam ini.
[ashita wa ashita no kaze ga fuku, besok akan ada angin baru, artinya tidak usah khawatir besok akan terselesaikan, cmiiw]

Aku baru saja akan menarik kantong tidurku sampai ke pinggangku ketika sebuah suara tanpa emosi memanggilku.

"Ijima."

Sebuah tangan terulur dari sisi tempat tidur dan menarik pipiku.

"Katakan."

Aku pikir dia bercanda, tapi dari tempat aku melihat ke atas, mata Kitaoka punya warna yang serius.

"Bukannya itu jahat, barusan? Kenapa kamu menjauhkan diri?"

Punggungku langsung menegang karena aku tahu apa maksud dari apa yang dia katakan.

Kitaoka terus menanyaiku tanpa ampun.

"Sungguh, menurutmu untuk apa aku datang sejauh ini?"

"Apa…. Itu….?"

"Apa menurutmu aku harus mengatakannya juga? Kita pacaran kan?”

Sementara aku kesusahan di bawah rentetan pertanyaan, suara Kitaoka entah bagaimana mulai naik lebih tinggi dan lebih tinggi.

"Iijima juga bilang, 'Aku ingin melihatmu juga' apa itu bohong?"

Tentu saja aku ingat mengirim pesan itu. Bahkan jika aku mencoba untuk menyangkalnya, itu sia-sia.

"Itu bukan bohong. ......"

"Tapi kamu sebenarnya tidak melakukan apa-apa, kan? Kamu sepertinya ingin aku pulang. Aku sudah lama kesepian, dan aku sangat senang akhirnya bisa bersamamu, tapi kamu sepertinya sama sekali tidak seperti itu. Aku merasa seperti aku satu-satunya yang bahagia, dan itu sangat bodoh."

Saat aku hendak bilang bahwa aku tidak ingin dia pergi… Kitaoka jatuh kembali ke tempat tidur dan menutupi wajahnya dengan tangannya.

"Ini aneh, seperti ini. Walaupun hanya ada kita berdua...."

 

(...... Apa dia menangis?)

Aku melakukannya lagi, aku menyesal. Tubuhnya meringkuk sedih. Seperti kucing yang ditinggalkan, dan itu menyakiti hatiku. Selama ini, aku mencoba melindungi harga diriku, tak ingin ada yang tahu mengenai motif tersembunyiku, sampai orang penting di depanku mengungkapkan emosinya dengan sangat jelas.

Dia pasti telah memikirkannya jauh lebih dari yang kubayangkan, dan sampai sejauh ini. Pasti merasa frustrasi saat dia dikecewakan.

"Kitaoka."

Aku melepaskan kantong tidurku dan duduk di tempat tidur, menyisir dan membelai rambutnya yang panjang dan baru dikeramas. Baunya seperti ...... milikku.

"Maafkan aku."

Menggelengkan kepalanya, tidak ingin mendengar lebih dari ini.

Dia mengajukan banyak pertanyaan, tapi dia tidak menginginkan jawaban apapun karena dia tahu itu tidak ada artinya.

Bukannya aku ingin membuat alasan sepanjang waktu. Yang ingin kukatakan padanya lebih dari itu adalah...

"Suki…"

Saat aku mendekatkan wajahku ke wajahnya dan berbisik di telinganya, bahu kecilnya di bawah dadaku sedikit bergetar.

"Aku sangat mencintaimu.... rasanya, aku tidak tahu harus bagaimana"

Ini menyedihkan, aku tahu kau mungkin tidak setuju denganku. Pada akhirnya hanya ada itu saja. Aku tidak pernah begitu menyukai seseorang, jadi pengalaman ku sama sekali tidak berguna dan aku tidak benar-benar tahu apa yang harus aku lakukan. Aku telah mengikat diriku dengan aturan egois dimana aku tak boleh melakukan kesalahan.

Aku dengan lembut meraih pergelangan tangannya dan menariknya menjauh dari matanya. Wajah Kitaoka merah padam dan ekspresinya muram, tapi tidak ada air mata. Aku duduk di sampingnya, masih memegang pergelangan tangannya, dan menarik napas lega.

"Tak ada air mata, syukurlah."

"Aku tidak menangis...."

Wajah polos yang lebih dekat denganku dari biasanya. Rambutnya yang berwarna terang memantulkan cahaya. Aku selalu berpikir dia "Seperti malaikat", tapi lebih tepatnya dialah malaikatku. Dia mengajari ku apa yang salah dengan ku, mendukungku, sangat menyukaiku, dan masih keras kepala dan sangat imut. Jika itu bukan keajaiban, aku tidak tahu apa itu.

"Jangan lihat aku, aku malu."

Mungkin karena malu, Kitaoka memunggungiku saat dia melepaskan tangannya. Aku benar-benar ingin menatapnya lebih lama, tapi kurasa aku tidak boleh memaksanya.

Sebaliknya, aku dengan lembut memeluk punggung kurusnya dari belakang. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda mencoba melarikan diri, jadi aku menariknya lebih dekat dengan seluruh kekuatanku. Kacamataku menghalangi, tapi aku belum melepasnya. Aku ingin melihat bagaimana dia akan terlihat sampai menit terakhir.

Ada kalimat yang telah aku persiapkan untuk kuucapkan di kepalaku sejak kita bertemu lagi hari ini. Waktunya agak terlambat, tapi aku bisa mengatakannya sekarang. Aku tidak peduli jika dia menolakku. Tekad ku teguh.

"Bisakah aku melanjutkan dimana kita tertinggal?”

Saat aku bertanya dengan berbisik, Kitaoka menoleh ke arah ku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan curiga di matanya menyipit dan kemudian tertutup. Aku meletakkan tanganku di pipinya untuk membuatnya sedikit menoleh ke arahku, dan perlahan menyatukan bibirku. Hatiku meledak dengan ...... kegembiraan.

Akhirnya, jaraknya nol. Pacar pertamaku, ciuman pertamaku. Aku akhirnya melakukannya saat keadaan yang kurang dari yang diharapkan, tapi aku tidak peduli tentang itu sama sekali lagi. Bibirnya lembut, hangat, dan lebih basah dari yang kuduga, dan itu membuatku merasa sangat hidup.

Akhirnya, lidah tipis merayap di antara gigiku. Aku menyambutnya dengan punyaku sendiri. Awalnya pelan, lalu semakin lama semakin intens. Aku tidak tahu apa ini cara yang tepat untuk melakukannya, tapi dia tidak melepaskan bibirku, jadi aku hanya menanggapinya dengan ceroboh.

Aku tidak tahu sudah berapa lama melakukan ini. Lidahnya tertarik, dan desahan keluar dari mulutnya. Ciuman pertamaku dengan seorang gadis begitu dalam hingga hampir melelehkan otakku. Saat membuka matanya, Kitaoka sudah melihat ke depan lagi dan memunggungiku.

Aku sedikit kecewa dengan sikapnya yang ketus. Tapi ......

"Wow…. Ini enak”

Aku tidak tahu bagaimana perasaan Kitaoka tentang itu. Tapi bagi ku, yang sampai saat ini "tidak punya riwayat pacaran = diusiaku", ini adalah pengalaman terbaik yang pernah ada. Tampaknya semua emosi positif seperti kebahagiaan, keberuntungan, dan kegembiraan telah tersapu ke tingkat maksimal.

Tapi sebenarnya,......, ada hal-hal yang terasa lebih enak dari ini, dan aku tahu ini karena naluri ku dan pengetahuan tambahan yang telah diberikan kepada ku. Bagaimana rasanya menjadi lebih hebat dari ini, ketika ciuman saja bisa seperti ini? Aku ingin tahu. Aku ingin jawabannya di sini dan sekarang.

Aku menarik lenganku di sekitar perutnya erat-erat. Dalam pelukanku, Kitaoka sedikit menunduk. Lengan yang ada di sekelilingnya tergelincir ke area yang lembut. Seolah dibimbing, aku memijatnya dengan tanganku. Itu sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya, tapi aku tidak yakin melalui pakaian yang tebal. Aku ingin tahu bagaimana rasanya secara langsung. Instingku berteriak padaku.

(Apa ini baik-baik saja? ......)

Aku menurunkan ritsleting, meligat reaksinya. Aku tahu dia tidak mengenakan apa-apa di bawahnya. Sebuah pusar kecil vertikal mengintip keluar. Dengan tangan gemetar karena gugup, aku membuka ritsleting dan membiarkannya menunjukkan payudaranya sedikit demi sedikit.

"nnn...."

Sebagian besar tubuh bagian atasnya telanjang. Tonjolan bundar dengan ketegangan begitu putih sehingga pembuluh darah bisa terlihat, dan puncaknya memiliki warna manis yang mengingatkan pada madu air persik. Dan pinggangnya yang ramping semakin menekankan ukuran payudaranya. Merasakan sesuatu yang muncul di tubuhku, aku bergumam dalam hatiku.

Tidak dapat menahan rasa ingin tahuku, aku mencubit bagian sensitif. Semakin aku memainkannya, semakin keras jadinya, dan semakin panas napasnya.

Aku bisa mendengar suara erangan

"Redupkan lampu, ......"

"Tunggu sebentar."

Saat aku menahannya, Kitaoka sedikit menegang. Ada alasannya.

"Aku selalu ingin melihat Kitaoka telanjang."

Aku sudah berfantasi tentang hal itu untuk waktu yang lama sekarang. Sebenarnya, aku mungkin telah membayangkannya sesekali sejak kita berada di kelas yang sama di kelas satu,....... Bahkan saat ada sedikit permasalahan di musim dingin, dia sering dan sering muncul dalam mimpiku. .

"Aku memikirkannya sepanjang waktu, dan itu membuatku gila."

Aku benar-benar merasa seperti orang yang tidak berdaya. Maukah kau mencintaiku bahkan jika aku seperti ini?

"Baka......"

Suaranya begitu cabul dan meleleh sehingga aku tahu dia tidak marah.

Aku membaringkannya di punggungku dan melepas sweatshirt yang menutupi kakinya, bersama dengan celana dalamnya. Hoodie itu jatuh di bawah tempat tidur sebelum aku menyadarinya. Sekarang dia tidak punya apa-apa lagi untuk dipakai.

Aku sudah lama melihatnya dari sudut kelas. Tapi ada saat aku menyerah dengan fakta bahwa aku tidak akan bisa memilikinya, bahkan aku tidak bisa berinteraksi dengannya. Sekarang, dia memperlihatkan tubuhnya kepada ku, layaknya baru terlahir. Dia bahkan lebih kurus dan lebih lembut dari yang kubayangkan, dan ketelanjangannya yang indah terbentang di hadapanku. Kau tidak akan pernah bosan melihatnya, tidak peduli berapa lama kau melihatnya. Tapi..

"Mou, …tidak apa..."

Sebuah tangan terulur dan melepas kacamataku. Dari sini, aku melepas semua yangku miliki di tubuh ku untuk merasakan miliknya di kulit ku. Dan karena dia begitu dekat sehingga aku bisa melihatnya bahkan dengan rabun jauh, aku baik-baik saja.

Kami berulang kali mencium dan merangsang area responsif satu sama lain. ...... Apa-apaan ini? Hebat, seperti berada di surga. Jika malaikat yang memelukku, maka mungkin ini adalah surga.

"Ijima ......"

"n?"

"Aku... mencintaimu, entah kenapa rasanya aneh"

 

Akan lebih mudah dipercaya jika ini disebut mimpi.

Gadis yang ku cintai telah menerima ku dengan air mata dan rasa sakit untuk pertama kalinya. Itu pasti jenis mukjizat yang paling membahagiakan yang bisa diberikan dunia begitu saja.

Aku memeluk tubuhnya dan menyatu. Aku membelai punggung dan kepalanya lagi dan lagi sampai rasa sakitnya mereda.

"Emma."

Saat aku memanggilnya dengan nama itu untuk pertama kalinya, hubungan di antara kami memanas. Wajahnya, yang berbaring miring, menjadi sangat merah sehingga aku bisa melihatnya bahkan dalam kegelapan. Ini pertama kali aku memanggilnya dengan nama depannya, dan koneksi memanas.

Bahkan jika itu adalah mimpi, aku tidak ingin melupakannya. Aku memeluknya kembali gemetar sekali lagi, dan mengguncang tubuhku, berharap kuat.

Tidurku tiba-tiba menjadi dangkal saat aku merasakan sedikit pakaian bergesekan dikulitku. Dalam keadaan melamun, aku ingat kalau aku tidak sendirian sekarang, tapi ada seseorang yang tidur di sebelahku. Lalu aku merasakan sesuatu yang hangat di pipiku. Aku hampir tersenyum saat sadar apa yang sedang dilakukan ......, dan melanjutkan tidurku alan anjing rakun.

Tempat tidur berderit keras. Aku berpura-pura berbalik dalam tidurku dan melihat kembali ke arah di mana aku mendengar suara itu. Sebuah lentera, salah satu perlengkapan pendakian ku, dinyalakan di samping tempat tidur ku. Berkat lentera, yang biasanya ku gunakan untuk membaca, aku bisa melihat meskipun samar-samar. Kitaoka meraih botol plastik di bawah tempat tidur, dan hendak membuka tutupnya dan meminumnya sambil berbaring telentang. Bahkan dalam cahaya redup, aku bisa melihat profil wajahnya yang pucat.

Sepertinya dia tidak berpengalaman seperti yang kubayangkan, dan dia tampak sangat kesakitan selama kejadian sebelumnya. Dia juga sedikit berdarah. Itu tidak terduga dan mengejutkan, tapi mengingat fakta bahwa dia dulu terlalu takut dilecehkan di kereta yang penuh sesak, aku kira itu bisa dimengerti.

Setelah dia menghabiskan minumannya, aku bertanya.

"Hei, ......

"Apa?"

"Apa kamu baik-baik saja?"

"Ya, itu… gak apa kok."

Aku ingin tahu apa itu benar. Kitaoka punya sedikit sifat keras kepala, jadi aku tidak bisa langsung menelan kata-katanya yang berani.

Meski begitu, bagian atas tubuhnya yang mencuat dari selimut tampak dingin. Berat bagiku untuk meninggalkannya, meskipun kita hanya bersama sekali. Aku berbalik dan memeluk pinggangnya yang kurus, dan permukaan punggungnya yang halus terasa sejuk saat disentuh.

Saat aku menggosok kulit ku untuk menghangatkannya, emosi yang aku rasakan sebelumnya datang kembali. Setelah sedikit mencicipi area sensitif, aku menyelipkan tanganku di antara pahanya.

"Oh ya. Kamu sudah basah."

"Disini juga. Ini sudah ngaceng."

Sebuah jari tipis mencengkeram bagian tengah tubuhku. Aku merasa seperti akan keluar hanya dari itu.

Kami akhirnya tetap "dekat" sampai fajar, dan waktu berikutnya aku bangun, matahari sudah tinggi di langit. Kemarin aku bilang untuk pergi keluar bersama, tapi tidak mungkin di kondisi sekarang. Aku memutuskan untuk menyimpannya diwaktu yang lain dan bersantai di kamarku sedikit lebih banyak hari ini.

"Aku akan mandi."

Kitaoka yang pertama bangun dari tempat tidur.

Aku terlelap sejenak, mendengarkan suara air yang mengalir dan menikmati kehangatan tubuhnya yang berlama-lama di atas futon.

(Oh, ......, apa yang harus aku lakukan? ......)

Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tahu aku merasa seperti seorang pengecut. Tidak mungkin waktu bahagia ini bisa bertahan lama. Meskipun aku tahu aku harus lebih tegas, tidak mungkin aku, pria malang yang sedang jatuh cinta, bisa melakukan hal yang sia-sia seperti mengakhirinya sendiri.

Akhirnya, suara air berhenti, dan sebagai gantinya, bau menggelitik perut yang lezat datang dari dapur.

"Kamu membuat apa?"

Aku bertanya padanya saat dia kembali ke kamar, berbaring.

"Kupikir aku akan membuat bubur nasi dengan sisa dari pot kemarin. Aku sedang memanaskannya sekarang."

Dia menjawab dan mulai membersihkan kamar.

Aku tahu aku harus membantunya, tapi udara yang sedikit dingin membuat futon sulit untuk dilepaskan. Saat aku menurunkan kelopak mata ku untuk memberi ku waktu tiga menit lagi.

Aaaaah!"

Tiba-tiba, aku mendengar teriakan. Saat aku bangun untuk melihat apa yang terjadi, Kitaoka memegang sesuatu di tangannya dan bilang, "Ini .......

Dalam penglihatan ku yang tidak jelas, aku mengambilnya.

(Tidak mungkin. ......)

Firasatku buruk, dan saat aku mendekatkan apa itu ke mataku untuk melihatnya, itu adalah kacamataku, seperti yang kuduga.

(Wow ......)

Bingkainya benar-benar rusak, dan lensanya rusak parah, seolah-olah diberi tekanan yang lebih. Aku memegang bingkainya dan mencobanya untuk melihat apakah aku bisa menggunakannya, tapi penglihatannya terdistorsi dan aku tak tahan menggunakannya. Dia pasti menginjaknya saat sedang bersih-bersih, secara tak sengaja.

"Ini benar-benar buruk"

"Maaf, ......."

"Tidak, yah, ....... Lagipula sudah terjadi ......"

Itu tidak disengaja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jika ada, itu salahku sendiri karena meninggalkannya di sana. Tapi ......

"Bagaimana ya......, tapi ini satu-satunya kacamata yang kumiliki saat ini......."

Aku meninggalkan yang berbingkai logam yang biasa nya ku gunakan saat sekolah di rumah orang tuaku. Aku akan meminta ibu untuk membawanya kembali ketika dia datang untuk menghadiri upacara penerimaan lusa, tapi masalahnya adalah apa yang harus dilakukan sampai saat itu. Lebih buruk lagi, aku tidak sengaja kehabisan lensa kontak sekali pakai.

Hari ini dan besok ....... Situasi ini sangat tidak nyaman karena aku tidak terbiasa dengan kota atau rumahku. Bagi mereka yang rabun jauh dengan huruf "d" (mungkin maksudnya dioptri) di atas, hanya bisa terpana… akan kurangnya alat korektif untuk mengoreksi penglihatan.

Terhadap aku yang tercengang, Kitaoka berkata dengan riang,

"Kalau begitu, ayo kita beli kacamata nanti."

"Apa?"

"Karena kita di sini, ayo cari sepasang yang bisa melihat dengan baik. Aku akan memilihnya bersamamu."

Saat aku tidak bisa segera menanggapi tawaran tak terduga itu, Kitaoka melanjutkan.

"Juga buat bisa dipakai saat kuliah. Jadi kacamata nerd itu harusnya kadaluwarsa."

Kurasa aku pernah mendengar itu sebelumnya ......, dia sepertinya tidak terlalu menyukai kacamata nerd itu.

Aku sedikit sedih dengan perbedaan pendapat karena aku dulu menyukainya. Tapi memang benar desainnya tidak terlalu cocok dengan pakaian casualku, apalagi seragam sekolahku.

Saat aku bergumam, "Kurasa aku akan ikut," dia tampak tersenyum melalui kabut penglihatanku.

 

Setelah mandi sebentar, kami makan bubur dari panci (cukup enak dan penuh rasa. Tentu saja, aku menambahkan telur), Kitaoka mencari optician di lingkungan sekitar.

Aku diberitahu ada toko populer di gedung stasiun yang dikunjungi kemarin menawarkan bingkai dan lensa dengan harga tertentu, jadi aku memutuskan pergi kesana.

Seperti yang diharapkan, suhu di luar telah turun drastis, aku mengenakan jaket tebal dan pergi keluar.

“Ada tangga disana, hati-hari”

Setelah meninggalkan rumah, Kitaoka menggandeng tanganku dan kami naik bus menuju stasiun. Samar-samar aku penglihatanku buruk, tapi dia dengan semangat memimpin, aku hanya patuh mengikutinya.

"Mari kita lihat, lantai tiga di sini?"

Sepertinya ini adalah gedung stasiun yang kita kunjungi. Aku naik lift dan menuju ke toko kacamata.

Segera setelah tiba, mencoba setiap kacamata yang berjejer di toko.

"Bagaimana dengan ini?"

"Rasanya malah terlihat seperti badut"

"Bagaimana dengan yang ini? Gak jatuh kan dari hidung?"

"Ah, ini gak bagus saat melihat ke bawah"

"Yang ini sedikit tidak nyaman di telinga"

"Hmm, ya benar, sedikit gak pas"

Kami memakainya satu demi satu dan betukar pendapat

Setelah melihat-lihat, aku akhirnya memutuskan untuk membeli yang menurut Kitaoka adalah "yang terbaik", karena aku sendiri tidak dapat melihat dengan baik.

Setelah tes mata, aku diberi formulir untuk diisi, dan Kitaoka mengisinya untuk ku, karena penglihatanku buruk. Aku ingin tahu apa ini yang mereka sebut dengan ulet.

Aku mengganti ke lensa tipis, dan tidak ada biaya tambahan untuk itu. Aku beruntung karena aku sedikit khusus ke hal tersebut.

Kitaoka juga membayar setengah dari biaya. Awalnya dia ingin membayar keseluruhan, dengan bilang, "Jelas, kan aku yang merusaknya." Aku menolak gagasan itu, tapi dia dengan keras kepala menolak untuk mundur. Jadi aku berhasil membujuknya untuk membagi 50/50.

Setelah sekitar satu jam menunggu, kacamata baru sudah siap.

Kami pergi ke restoran cepat saji terdekat, memakai kacamata dan senyum bahagianya terlihat jelas melalui lensa.

"Itu cocok dan bagus untukmu."

"Beneran?"

"Ya. Kurasa yang ini lebih bagus dari sebelumnya.”

Aku berpikir, "Tidak terlalu lebar, itu pas," tapi sepertinya itu awalnya dibuat untuk perempuan. Jika diperhatikan lebih dekat, kau dapat melihat pola polka dot di bagian dalam pokok anggur, yang menurut ku agak terlalu imut, tapi aku rasa aku akan terbiasa dengan itu.

"Hei, ......."

"Apa?"

"Aku akan menjaganya dengan baik."

Itu seperti hadiah nyata pertama yang pernah ku terima, meskipun aku membayar setengahnya.

Saat aku berterima kasih padanya, Kitaoka menopang dirinya dengan satu siku dan menyeringai senang.

"Jangan menginjaknya."

Aku ingat saat masih di SMP, aku juga menginjak kacamataku dan merusak bingkainya.

"Akan kupastikan untuk tak meletakkannya di lantai."

Saat menjawab begitu, dia bilang, "bagus," dan menyipitkan matanya dalam suasana hati yang baik.

Kami mengobrol sambil minum kopi sebentar, tapi seiring berjalannya waktu, mata Kitaoka perlahan-lahan jatuh ke layar ponselnya dan semakin sering. Senyumnya semakin berkurang.

Setelah beberapa kali memeriksa layar, dia perlahan bergumam.

"Aku ada part-time job malam ini."

Saat dia mengucapkannya dengan nada tanpa emosi, Kitaoka tersenyum di sudut mulutnya saja.

"…jadi lebih baik aku bergegas."

Aku tahu aku akan mendengar kata-kata itu, tapi aku masih bisa merasakan kesepian yang tidak dapat dijelaskan.

“Sepertinya kita tepat waktu."

Kitaoka bergumam saat dia berdiri di depan gerbang tiket, melihat papan elektronik di atas. Dia akan naik kereta Shinkansen untuk pulang, dan beruntung tidak harus mengantri karena kami telah memesan tempat duduk.

Terakhir kali aku yang diantar, tapi kali ini sebaliknya. Aku merasa ngeri dengan keegoisanku sendiri, hampir berharap bahwa kereta akan berhenti.

Pengumuman kereta shinkansen yang mendekat terdengar. Membeli tiket masuk dan berjalan ke peron bersama-sama.

Segumpal warna putih berhamburan ke bawah, "Oh, salju," gumam Kitaoka, menatap ke langit. Setitik salju akhir musim juga menempel di lensa kacamata yang baru saja ku beli. Itu menghilang lebih cepat sebelum aku bisa menyipitkan mata untuk melihat kristal dari enam lapis bunga.

"Kalau begitu, sampai jumpa. Rasanya menyenangkan."

Kitaoka tersenyum, tapi ku tidak tahu apa dia tersenyum dari lubuk hatinya atau tidak.

"Terima kasih untuk ini."

kataku lagi, menyentuh tepi kacamataku. Dia menjulurkan satu jari ke arahku.

"Lain kali kita bertemu, kamu juga bisa memakainya."

"Ya....... Mungkin ini satu-satunya kupunya."

Yang aku gunakan di SMA sangat mudah untuk melihat, tapi yang ini lebih ringan dan lebih pas. Dan itu jauh lebih murah daripada yang aku beli sebelumnya. Sungguh menakjubkan seberapa jauh teknologi dan industri telah berkembang. Aku hanya terkesan.

Sudah lama sejak aku punya pandangan yang jelas dari setiap sudut dunia. Dunia adalah tempat yang begitu hidup. Seolah-olah aku berada di tempat yang telah dilahirkan kembali.

Tapi itu sangat indah, sangat bersih - terkadang sulit, pikirku saat melihat orang di depanku.

Shinkansen tiba di peron. Tapi aku masih merasa belum mengatakan apa-apa. Apa ini baik-baik saja? Tidakkah aku menyesal meninggalkannya seperti ini? Pikiran frustasiku mencair sebelum aku bisa mengatakannya dengan keras. Saat pintu terbuka, Kitaoka perlahan mengangkat tangan kanannya dan melambaikannya ke udara.

"Sampai ketemu lagi."

"Au."

Bahkan saat masuk ke gerbong, dia terus melambai padaku dari kursi dekat jendela. Aku melambai kembali sampai aku tidak bisa melihatnya lagi. Ketika kereta menghilang di kejauhan dan aku tidak bisa mendengarnya lagi, dan tidak ada seorang pun di peron, aku akhirnya pindah dari tempat itu.

Aku merasa seperti aku masih di tempat yang tidak nyata.

Sebelumnya  Daftar isi  Selanjutnya


Related Posts

There is no other posts in this category.

3 komentar

  1. Walaupun sudah seeegh
    Mc ama fmc masih kaku mau ngungkapin perasaan satu sama lain:v

    BalasHapus
  2. Inilah kenapa MC beginian disebut perjaka Krn emng terlalu banyak mikir walau udah jadi pacar

    BalasHapus

Posting Komentar